Suara kicauan burung-burung di pohon seberang kamarnya menemani aktivitasnya di pagi hari ini yang hanya duduk saja, berdiam diri di balkon kamarnya, menikmati suasana pagi yang masih terasa dingin karena hujan semalam.
Reynal memperhatikan anak-anak SD yang sedang berjalan sambil menggenggam tangan ibunya masing-masing. Suara tawa mereka terdengar bersahutan, sang ibu mengelus-ngelus kepala anaknya seraya membenarkan topinya yang sempat miring. Reynal tersenyum, ikut merasakan rasa sayang sang ibu.
"Ma, dulu aku pengen banget disayang kayak anak-anak itu, tapi, belum sempat terwujud," ucap Reynal tiba-tiba.
Reynal mengusap air matanya yang tidak tahu sejak kapan air matanya itu bisa memenuhi kantung mata lalu jatuh mendadak seperti ini. Melihat anak-anak tadi, membuat memori masa lalunya berputar kembali, teringat dengan sang mama yang sangat ia sayangi.
"Tapi, Rey lega, Ma. Rey bisa ngungkapin rasa sayang ke mama, sebelum mama pergi buat selamanya," ucap Reynal sambil terisak mengusap air matanya yang semakin berjatuhan.
"Walaupun, Rey nggak tau, mama sayang nggak ya, sama Reynal?" Reynal menghela napasnya, hidungnya sudah memerah, ia mendongak menghalau air matanya agar tak kembali keluar.
"Kata ayah, mama sayang kok sama Rey," ucap Reynal lagi, ia munuduk, mengusap lagi air matanya yang kembali keluar.
Sejenak, Reynal menghirup udara segar di pagi hari ini, kepalanya mendongak pelan, memandang langit biru cerah dan awan-awan putih yang sangat indah.
Reynal menghembuskan napasnya. "Kenapa ya, Ma? Padahal dulu, mama selalu ada di hadapan Rey. Tapi, rasanya mama gak bisa Rey gapai ...."
"Ma, semoga di kehidupan selanjutnya, Rey bisa jadi anak mama lagi, ya? Tapi, yang disayang, yang diperlakukan seperti anak-anak lain. Bukan kayak dulu, yang dianggap seperti angin," lanjutnya dengan senyuman tipis yang perlahan tercipta, meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu akan terjadi.
Reynal menelan salivanya, berusaha menenangkan dirinya sendiri agar tangis itu tak pecah. Anak itu kemudian perlahan mencoba berdiri, bertumpu pada pembatas besi balkon kamarnya, merasakan hawa dingin besi yang masih menempel.
"Ma, Rey sayang mama. Selalu," ucapnya kemudian, kini dengan senyumnya yang lebar seraya memandang langit dengan rasa ikhlas yang lapang.
Sejak kecil, Reynal memang tidak dekat dengan mamanya. Mamanya itu terlampau sibuk dengan pekerjaannya. Hanya ayahnya saja yang masih sempat menanyakan hari-harinya, memasuki kamarnya ketika malam hari, mengantar jemputnya ke sekolah, sampai mengambil raportnya ketika kenaikan kelas.
Sampai sekarang, Reynal tidak tahu alasan mamanya sangat sibuk bekerja sampai-sampai tidak ada waktu untuknya. Padahal sang ayah, masih bisa meluangkan waktunya.
Reynal berharap, tidak ada masalah yang besar hingga sang mama terlihat tidak menyukainya, bahkan sampai akhir hayat. Reynal berharap mamanya bisa memaafkan dirinya jika mempunyai salah. Dan Reynal, tentu sudah memaafkan sang mama yang sangat ia sayangi itu.
Sejujurnya, Reynal ingin menanyakan masalahnya ini pada Haris, Reynal mengira om-nya itu mengetahuinya. Namun, pembahasan kemarin tentang dirinya yang bertanya kenapa ayahnya ribut dengan Haris saja, Haris bungkam. Om-nya itu hanya mengangguk lalu mengalihkan topik ke pembahasan yang lain.
Namun, Reynal sangat bersyukur karena sekarang bisa bersama Haris. Dirinya bisa merasakan beban-beban berat di bahunya yang selama ini dipikul berjatuhan. Walau nyatanya, yang namanya beban pasti akan selalu ada selama hidup di dunia.
🏀🏀🏀
"Raka."
Sang empu menghentikan langkahnya mendengar suara panggilan dari orang yang dikenalnya, Sergio. Raka membalikan tubuh, menunggu Sergio yang sedang melangkah menghampiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynal; Dribble of Destiny √ [Terbit]
Novela Juvenil'Dribble of Destiny' mengisahkan perjalanan Reynaldi Aryasetya Prasetyo, remaja 16 tahun yang menemukan tujuan dalam permainan basket setelah kehilangan keluarganya. Di tengah hiruk pikuk lapangan dan semangatnya, Reynal mengungkap misteri masa lalu...