Bab 20: Match day 7 semakin....

1.7K 148 62
                                    

"Hah ...."

Reynal mengatur napasnya yang kini sudah kembali normal, inhaler yang sempat dihirup ia simpan lagi ke saku, kembali memandang danau indah di hadapannya. Akhir-akhir ini penyakitnya sering kambuh, benar kata Dokter Giska, semua ini karena dirinya stres.

Sore hari ini, sebelum besok mulai ke semifinal, Reynal berjalan-jalan ke sekitar komplek sambil membawa bola basketnya. Awalnya memang begitu, tapi karena pikirannya yang kosong, ia jadi tak sadar berjalan sejauh ini hingga menemukan danau indah di ujung komplek lengkap dengan lapangan basket kecil di sebelahnya.

Melihat itu, tentu Reynal langsung bermain sendiri, melatih kakinya yang kemarin-kemarin sempat kaku. Reynal sangat senang bisa bermain sepuas ini karena latihan hari kemarin, ia kembali tidak dimainkan oleh Haris.

Setelah puas bermain, Reynal duduk di tanah, memandang danau indah ini dengan pikiran berbelitnya yang sejak tadi belum hilang, hingga tanpa disadari asmanya pun kembali kambuh. Untung Reynal membawa inhalernya di saku celana.

Pluk!

Reynal melemparkan batu kecil ke danau, pikirannya melayang, mengingat hari latihan kemarin yang semakin keras. Benar kata Arkan, lawan mereka SMA Energi Gemilang, tim yang terkenal dengan jam terbang yang tinggi.

Reynal kembali merasa khawatir dengan kondisinya yang semakin hari semakin lemah ini, pikirannya belum tenang, membuat asmanya rentan kambuh, kakinya juga masih terasa kaku jika gerak berlebihan. Sementara besok, komite seleksi untuk pemain kabupaten datang, mimpinya itu datang, di waktu dirinya seperti ini.

Reynal merebahkan tubuhnya, menatap dedaunan lebat yang berwarna hijau segar seolah-olah mata yang memandangnya merasa tenang. Walau begitu, Reynal merasa dirinya belum tenang, pikiran berbelit itu masih ada. Apakah Reynal harus memberitahukan masalahnya ini pada Haris? Atau pada Arkan dulu? Sungguh, dalam otaknya itu hanya berputar-putar masalah ini sejak seminggu yang lalu.

Raka semakin jauh untuk digapai, belum selesai satu orang, kini Sergio yang malah memusuhinya juga. Reynal tak tenang sebenarnya, namun jika ia memberanikan diri lagi untuk berbicara empat mata, Reynal sudah tidak ada energi. Capek sekali rasanya ketika harus menjelaskan sesuatu pada orang yang sedang tidak suka padanya. Reynal hanya menunggu agar waktu yang menjawab.

Dering ponsel berbunyi, Reynal mengambilnya di saku, menempelkan ponsel itu ke telinganya seraya menerima panggilan. Itu Haris, om-nya itu pasti sedang mencarinya.

"Rey, di mana? Udah mau Maghrib, ayo pulang! Besok 'kan, mau tanding."

"Iya, Om. Reynal mau pulang ini."

"Kamu di mana?"

Reynal menghela napas seraya mendudukkan dirinya. "Di danau ujung komplek, Om."

"Astagfirullah, jauh sekali? Kamu gak papa 'kan? Gak sesak? Tunggu di sana, ya, Om jemput."

Telpon dimatikan secara sepihak oleh om-nya itu. Reynal memandang ponselnya yang ia pasang wallpaper foto atlet basket idolanya, berharap dirinya yang nanti seperti mereka, ada di sana. Reynal tersenyum tipis, berusaha kembali menyemangati dirinya.

"Gue bisa!"

🏀🏀🏀

Semifinal sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Reynal belum dimainkan sama sekali oleh Om-nya itu. Kini, ia hanya memandang teman-temannya yang sedang bertanding, berusaha menyamakan poin yang sejak tadi saling mengejar.

Pertandingan kali ini sangat tertib karena kedua tim menaati peraturan. Wasitnya juga terlihat beda dari babak kualifikasi kemarin. Penonton di tribun pun, tampak semakin penuh memadati.

Reynal; Dribble of Destiny √ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang