Lima: Hidden Son

7.9K 887 85
                                    

Mew menginjak puntung rokok yang beberapa saat lalu menjadi teman pengisi kekosongannya. Berlindung dibawah pohon rindang dengan kap mobil mewah miliknya sebagi penopang berat tubuhnya--Mew menghela nafas panjang, berusaha mengusir beban yang bersarang dihati dan bersifat korosif. Ia tak mengerti mengapa berakhir disini--jam makan siang dan ia menunggu seseorang didepan sebuah Taman kanak-kanak.

Masih dapat ia dengar jika tempat itu mulai ramai--suara anak kecil yang semangat karena jak belajarnya sudah habis terdengar dan membuat telinganya sakit. Ditengah anak-anak yang pulang bersama orangtuanya, Mew melihat anak itu--berjalan sendirian, tak ada tangan yang menggandengnya menuju rumah.

"Paman!" Jantung Mew berpacu keras. Anak yang beberapa saat lalu hanya bisa ia pandangi tanpa berani menyapa malah menyadari keberadaannya. Tubuh kecil itu berlari semangat menghapirinya.

"Light..." sapa Mew. Suaranya pelan dan ada tangis yang ditahan. Anak itu memberinya senyum sehangat mentari. Sekali lagi ia menemukan sosok Gulf pada diri anak kecil ini.

Gulf-- ia tak bisa lupa tentang percakapan terakhir mereka.

'... dan kau adalah ayah biologisnya.'

Gulf mengatakan itu tanpa ragu. Padahal Mew telah dibohongi selama bertahun-tahun lamanya. Ia tak mengerti mengapa fakta ini begitu berat untuk Gulf beritahu padanya. Apa karena semua kejahatan yang ia lakukan? Apa sebegitu dalam rasa sakit yang ia berikan? Ditengah rasa terkejutnya--Mew melihat sorot mata yang dulu ia damba. Disana tak ada lagi cinta untuknya--sangat jelas dan mengejeknya membuatnya hina. Apa Gulf akan tertawa jika ia tahu Mew berpikiran seperti itu?

"Gulf... kau menyembunyikan ini semua?" Mew bertanya tanpa memikirkan rasa malu yang ia tanggung selama ini semenjak melihat Gulf lagi. Tapi Gulf tidak tertawa--tidak menertawakan ketidakmaluan tindakannya kini.

"Mew... aku pergi sesuai keinginanmu. Apa sekarang kau menganggapku melakukan kesalahan?" Jawaban Gulf pada akhirnya menghajar Mew hingga babak belur walau tanpa disentuh.

Ia kalah--sangat telak. Dalam percakapan ini Gulf adalah pemenangnya.

"Light... anak itu--" Gulf tercekat ditengah perkataannya. "Dia bahkan memujimu tanpa tahu siapa kau yang sebenarnya. Apa 6 tahun ini aku melakukan kesalahan?" Sejak kapan Gulf menjadi manusia seperti ini? Mew seolah tak mengenalinya lagi.

"Aku tidak bisa bicara banyak padamu." Gulf masih berbicara, walau nafasnya memendek disetiap kata. "...kau bisa melihat anak itu. Jangan jauhkan Light dari anakmu yang merupakan teman bermain sepak bolanya. Tapi tolong kabulkan satu keinginanku, Mew..."

Gulf menatapnya--Mew menyadari terdapat ada reruntuhan 'dunia cinta' yang dulu mereka bangun telah hancur sirna.

"...Kumohon--jangan pernah mengaku sebagai ayahnya didepan anakku."

Mengingat itu membuat Mew merasakan apa itu penolakan yang sesungguhnya. Penolakan pertama yang Gulf ucapkan padanya adalah hal menyedihkan ini. Bahkan ketika ia menginginkan perpisahan--Gulf tak menolak sama sekali.

"Paman, ada apa? Apa Nate bersamamu?" Light masih didekatnya--Mew tak tahu harus berkata apa.

Anak ini--adalah darah dagingnya.

"Mau makan siang bersamaku?" Mew tak sadar mengatakan tawaran menggelikan. Dilihatnya Light menimang ragu.

"Moma sudah memasakkan makanan untukku dirumah, paman." Mew tercekat. Air mata menggenang dan siap meledak kapanpun. Anak ini--ia sangat menghargai orangtuanya. Membuatnya tak mampu bernafas normal.

"... jadi, maaf na paman. Aku makan siang dirumah saja." Light memamerkan senyum lima jari imitasi dari sang Moma. Mew mengusap sudut matanya--tangannya terulur mengusap kepala Light sambil menahan bibirnya agar tak mengeluarkan isakan memalukan.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang