Tujuh: Precious

7.4K 844 52
                                    

Mew menggigit bibirnya. "Bisakah--kita memulainya sekali lagi?" Mew tak kuasa lagi menahannya. "...kumohon--sekali lagi."

Gulf tertegun mendengarnya. Mew memberi sorot mata yang sama persis ketika pria itu menawari cincin dan melamarnya beberapa tahun lalu. Gulf tak bereaksi setelahnya karena Mew meraih tangan kanannya dan menggenggamnya erat. Sentuhan kulit itu terasa hangat namun dingin karena Gulf yang rasakan.

"Kita---kita bisa merawat Light bersama." Mew berujar persuasif, penuh harap, penuh rasa. "...bukankah itu impian kita sejak dulu?"

"Mew--"

"Kita bisa memulainya lagi--aku... euh, kau tidak perlu khawatir, aku akan berpisah dengan perempuan itu." Mew semakin erat menggenggam tangan kanannya.

"Mew---"

"Aku..." Mew menelan ludahnya kasar, jantungnya berdetak gila--titik keringat mulai bermunculan diwajahnya. "...aku sangat mencintaimu, Gulf. Kumohon--aku lebih memilihmu, jadi--"

"Mew!"
Mew sontak terdiam saat suara keras Gulf terdengar. Tautan tangan itu terlepas sepihak karena Gulf yang melakukannya. Dilihatnya Gulf mengatur nafas--menatap Mew dengan sorot mata kecewa yang bahkan jauh lebih menyakitkan untuk dilihat ketimbang yang pernah ia lihat dahulu kala.

"Jadi..." Gulf membuang nafas gusar. "...seperti ini caramu meyakinkan wanita itu?" Suara Gulf pelan dan lemah. Bergetar diakhir dan Mew terkejut atas respon tak terduga ini. Dan Mew kalah telak untuk kesekian kalinya dihadapan Gulf.

"Gu--"

"Lebih baik kau pulang." Gulf memalingkan wajahnya--percuma saja air mata itu disembunyikan. Mew lebih dulu mengetahui. "...kumohon pulang."

***

"Tolong atur semuanya... tidak masalah... kirim saja berkasnya ke surelku... baiklah."

Mew menutup panggilan dari Tim--sekretarisnya yang baru saja melaporkan beberapa perkembangan proyek yang harus ia delegasikan kepada anak buahnya. Mew akui ia tidak profesional. Membiarkan Tim melakukan beberapa pekerjaannya yang terbengkalai di Bangkok. Seharusnya Mew mengabaikan Gulf sejak awal--tidak terbawa perasaan ketika melihat pria yang dulu ia damba sepenuh hati bekerja berbalut seragam minimarket. Seharusnya ia melakukan itu sejak awal--tidak ketika ia menyesal, tidak ketika ia merindukan pria itu ditiap menitnya, dan tidak ketika ia mencintai pria itu kembali.

Perkataan Gulf tempo hari--selepas malam penuh gairah yang terkubur bangkit kembali--memberinya pembalasan yang sangat pedih untuk ia rasa. Raut wajah Gulf--terngiang, melintas diotaknya ribuan kali, sulit hilang, sulit ia lenyapkan. Ketika beberapa tahun kebelakang--ia bahkan tak peduli kala Gulf menunjukan raut wajah yang sama ketika ia meminta cerai. Lalu kenapa rasa sakit Gulf kini  menjadi boomerang untuknya?

"Papa?" Sebuah suara memanggilnya. Mew tersenyum kecil dan memeluk anak itu seerat yang ia bisa. Mungkin saja jika Nate tidak ada disisinya--ia sudah menyerah ribuan kali.

"Papa baik-baik saja?" Memeluk Nate memunculkan rasa ingin memeluk anaknya yang satu lagi. Pikirannya berkelana karena anak itu bahkan sama sakitnya dengan Sang Moma.

'Ah, karma yang bagus.' Mew menertawakan dirinya sendiri.

"Apa Light akan main bola dengan Nate lagi?" Tanya Mew, melepas pelukannya dan mengecup singkat pipi kanan Nate yang empuk.

Sorot mata Nate meredup saat mendengar nama Light. "Sudah 2 hari aku tidak bertemu dengannya." Mungkin saja Gulf memang benar-benar marah padanya kali ini. Mew tahu jika anak sulungnya itu setiap hari bermain bola didekat area tempat tinggalnya--Mew bisa mengerti jika setelah ini Gulf dan Light akan semakin sulit ia raih.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang