_Jika bertemu denganmu adalah bagian dari alur kehidupan. Maka, aku akan terus berdoa pada tuhan agar secepatnya dipertemukan. Karena denganmu aku lebih terasa dekat dengan tuhan_
Aku pandangi sejenak dedaunan yang bergoyang dengan semilir angin. Fikiranku kembali teringat pada seseorang yang telah lama menghilang. Sejak aku lulus dari sekolah itu termasuk sekolahnya dulu, aku tak pernah lagi menerima surat biru berbintang, sapaan manis setiap pagi, dan lagu syahdu dari suaranya. Terkadang, aku menangis sendiri di pojok kamar berfikir dirinya telah melupakan aku dan mencintai orang lain. Namun, kucoba menepis sangkaan buruk itu tapi gagal, dirinya benar-benar telah mencintai seseorang di daerah asalnya.
Abang. Ya, sebutan itu adalah panggilanku untuknya. Dia anak rantau dari pulau seberang, di kotaku dia tinggal bersama pamannya. Saat aku masih duduk di bangku SMA, aku begitu dekat dengannya meski tidak ada yang tahu itu termasuk sahabat-sahabatku. Tapi, semua berubah semenjak aku lulus dan dia mendapat kabar bahwa ibunya sedang sakit yang menyebabkan dirinya harus pergi ke daerah asalnya. Mungkin, hanya satu kali dia mengirimku surat, pesan manis dan pesan suaranya yang indah itu padaku. Entahlah, apakah di dunianya namaku sudah lenyap?
"Senja!"
Aku menoleh ke arah suara. Kutatap datar lelaki yang memanggilku lalu memutar bola mata malas dan kembali menatap ke arah depan.
"Ada apa?" Tanyaku kepadanya.
"Kenapa kamu suka senja?"
Kenapa dia menanyakan itu. Pertanyaan yang selalu ingin kuhindari jikalau bisa. Tapi, nyatanya aku sendiri sangat menyukai perpaduan warna langit dengan matahari yang hampir terbenam itu. Semburat jingga di langit pertanda pergantian siang dan malam. Perbatasan antara lelah dan lelap. Senja yang selalu temaram, dan romantis. Mengantarkan aku pada satu memori indah yang terselip di antara beribu celah hatiku.
"Tidak apa-apa, hanya suka saja. Mungkin, karena namaku sama."
Ya, namaku Senja. Aku memang gadis penyuka senja. Semuanya yang berkaitan dengan warna jingga aku selalu menyukainya. Hingga gara-gara senja pun aku bertemu dengan lelaki gila, yang kini tengah berusaha mengintrogasiku dengan berbagai macam pertanyaan.
Dia terkekeh sambil berjalan mendekati dan berdiri sejajar denganku, menatap ke depan menikmati indahnya sang senja.
"Lihatlah di sana! Sebentar lagi laut akan memakan matahari dan semuanya gelap," ujarnya menunjuk ke arah lautan. Aku mengikuti arah yang ditunjuk.
"Itu namanya sunset, Bin. Bukan dimakan sama laut," jawabku agak kesal.
Namanya Bintang, dia memang lelaki gila. Apa saja yang ditemukan pasti dibuat bahan percobaan argumennya. Dan ya, dia selalu tidak pernah mau mengalah, tapi berkatnya aku bisa banyak tertawa dan tersenyum dalam sebulan ini.
"Sama aja lah. Oh ya tapi, aku masih belum puas sama jawabanmu itu. Cerita dong!"
Apa aku harus cerita dengan lelaki gila ini? Mungkin ini saatnya.
"Baiklah, karena hari ini aku sedang berbaik hati, aku akan cerita kenapa aku sangat menyukai senja." Aku pun duduk menekuk lututku dan menguncinya dengan kedua tangan.
Bintang juga duduk mengikutiku mencari posisi ternyaman untuk mendengar kisahku. Aku menyandarkan kepalaku ke pundaknya dan mulai bercerita tentang kehidupan masalalu yang berhubungan dengan senja. Ini adalah kisah antara Aku, dia, dan senja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir
Short StoryTakdir akan mengubah segalanya. Di saat aku butuh dirimu kau menghilang entah kemana. Tapi aku percaya, jika kita memang ditakdirkan bersama di ujung senja kau akan datang dan hidup bersamaku hingga jannahnya.