_Setiap perjalanan hidup pasti ada saja yang menghalangi menuju bahagia. Aku misalnya! Kadang sudah lelah menahan ini semua tapi, demi orang-orang tersayang aku harus mampu menghadapinya._
Dalam mengarungi samudera kehidupan, kita banyak menghadapi berbagai ujian dan cobaan yang silih berganti mewarnai kehidupan kita, bahkan belum selesai masalah yang satu muncul lagi masalah yang lain begitu seterusnya.
Sebenarnya, siapapun tidak menginginkan terjadinya ujian dalam kehidupan kita, namun pada kenyataannya tidak ada yang bisa menghindarinya kan.
Tapi percayalah bahwa habis gelap terbitlah terang, Allah SWT menyembunyikan matahari, lalu menghadirkan petir dan hujan membuat kita bersedih, padahal sesungguhnya sesudah itu Allah SWT ganti dengan pelangi yang indah. Besarnya ujian, sesungguhnya berbanding lurus dengan keimanan seseorang, setiap orang mempunyai ujian yang berbeda sesuai kapasitasnya. Terlepas dari setinggi mana keimanan kita dan sehebat apa ujian yang sesuai dengan kita.
Teringat perjalan kehidupanku di masa lalu. Dimana aku menaruh cinta di tempat yang salah. Tapi apa boleh buat itu sudah terjadi dan tak dapat dihindari. Aku percaya kebahagaiaan pasti akan datang pada waktunya. Seperti kata-kata Jalaludin Rumi 'Jangan bersedih, apapun yang hilang darimu akan kembali dalam bentuk yang berbeda'.
"Ja, main ke rumah yuk!"
Kutoleh asal suara itu, "Boleh, izin ke Bunda dulu tapi, El."
"Siap!"
Dia Pelangi Sanjaya. Sahabatku saat SMA hingga sekarang. Dia itu orangnya tinggi, kulitnya kuning langsat, matanya sipit, rambutnya panjang, dan dia adalah sahabat paling konyol yang mau diajak gila-gilaan bersama, hihi. Kenapa tadi panggilnya 'El'? Katanya biar sedikit enak manggilnya dan tidak susah. Ya, sih lagipula mau kupanggil 'Ngi' juga kedengarannya aneh.
"Ini paper bag isinya apa, Ja?" tanya Pelangi.
Aku membulatkan mata ketika Pelangi memegang sebuah paper bag hitam dan hendak membukanya. Dengan segera kuambil alih paper bag itu dari tangannya.
"Gak ada apa-apanya," sahutku.
"Jangan bohong, tadi aku sempat lihat kayak ada kain warna peach semacam jilbab. Ayo itu apa jelasin,"desaknya.
Aku menatap paper bag di tanganku sekarang, sepertinya aku benar-benar tidak punya alasan lain. Memang benar, di dalam paper bag ini ada jilbab tapi bukan satu melainkan dua buah jilbab segi empat warna peach dan biru.
"Iya itu di dalamnya ada jilbab," jawabku sedikit ragu.
"Tumben kamu beli jilbab, biasanya juga pakai punya Bundamu, Ja."
"Pemberian... Dia," lirihku sedikit menekankan kata 'Dia'.
"Langit? Dia ada di sini? Di kota ini? Kapan kamu ketemu dia? Bagaimana bisa? "
Temanku ini tidak pernah sabaran jika mengenai ceritaku. Katanya dia harus jadi orang nomor satu yang mengetahui tentang masalahku, kebahagianku, sedihku, dan segalanya. Menarik bukan!
"Ya, dia di sini. Dua hari lalu dan malam tadi kami bertemu itu pun gak sengaja, aku gak tau dia ngapain di sini, dan ya jilbab itu dia yang kasih," jelasku.
Ya, dua jilbab dengan warna kesukaanku itu adalah pemberiannya. Tadinya aku ingin memakainya tapi berhubung akhlaqku masih rendah sekali, aku jadi ragu dan kembali memasukkannya ke dalam paper bag. Aku sebenarnya punya keinginan untuk istiqomah berhijab, tapi entah setan apa yang membisik di telinga hingga aku malas untuk melakukannya.
"Kenapa kamu gak coba pakai, Ja?"
"Akhlaqku kan masih seujung kuku, El, takutnya nanti kayak dulu gak istiqomah. Jadinya dosa juga, kan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir
Short StoryTakdir akan mengubah segalanya. Di saat aku butuh dirimu kau menghilang entah kemana. Tapi aku percaya, jika kita memang ditakdirkan bersama di ujung senja kau akan datang dan hidup bersamaku hingga jannahnya.