_Tentu aku bahagia bersamamu. Tapi, jikalau kita terlalu dekat juga tidak baik bagi kesehatanku. Takutku jantung ini malah membuatku mati usia dini. Jadi tolong jangan dekat-dekat._
Hari yang begitu berbeda, musim memang telah berganti tapi detingan luka masih saja setia. Ku seruput kopi pahit yang kuseduh tadi, sambil melihat suasana pagi dari jendela kamar. Entah sejak kapan aku mulai menyukai kopi pahit, biasanya aku lebih suka kopi yang manis. Apalagi, diminum saat ada bersamanya itu akan jauh lebih manis.
Aksara Langit. Lelaki yang mengambil hatiku sekaligus penyebab lukaku sejak 6 tahun lalu. Lelaki yang pernah aku kagumi ketika masih menginjak bangku SMA. Dia adalah lelaki sederhana yang pernah aku temui dalam mimpiku. Ketika mendengar namanya, tidak tau mengapa bahwa alam bawah sadarku selalu menggebu-gebu untuk menemui lelaki itu. Ya, saat itu dia punya tambatan hati. Tapi hatiku hanya berkata, 'Ya Allah, kenapa aku begitu kagum dengan lelaki ini? Jika Engkau kehendaki aku mengenalnya, dan jadikan dia pendamping hidupku untuk kebaikan dunia dan akhiratku.' Mungkin itu terkesan memaksa tapi ya itulah diriku tukang paksa.
"Nih!"
Mataku berbinar ketika sebuah tangan mengulurkan dua buah coklat bermerk ratu, yang kini telah ada di depan mata. Aku menoleh ke samping melihat orang yang memberiku coklat, siapa lagi kalau bukan, Bintang.
"Makasih," ucapku tersenyum seraya mengambilnya dan meletakkannya di loker meja.
"Enggak ada niatan jalan-jalan, Ja?" Tanyanya menduduki tempat tidurku.
Jalan-jalan? Tentu pasti aku akan semangat mendengar kata itu, selain bisa keluar rumah menghilangkan jenuh juga aku tidak mengeluarkan uang sepeserpun. Uh, mungkin jika dilihat aku seperti wanita gila harta, tapi sebenarnya tidak seperti itu. Aku selalu menolak keinginan Bintang untuk membayar semua yang aku beli, tapi Bintang tetap kekeh dengan pendiriannya, aku malah sungkan jika terus-terusan. Sedang aku bisa apa? Rezeki tidak boleh ditolakkan?
Aku menggeleng, "Enggak, Bin. Aku lagi males"
"Males apa? Udah ayo aku yang bayar," jawabnya seraya berdiri.
"Tap---"
"Fiks. Aku yang bayar dan nggak ada penolakan."
Belum sempat kuselesaikan kata-kataku, Bintang dengan seenak udelnya memotong perkataanku itu. Mau tidak mau aku harus menuruti Bos besar itu, bisa-bisa dia marah dan memotong gajiku. Ya, aku tidak pengangguran seperti apa yang dipikirkan.
Aku bekerja menjadi sekertaris di perusahaan miliknya oh ralat masih milik Ayahnya. Lumayan untuk membantu perekonomian keluarga dan untuk tiga hari ke depan perusahaan itu diambil alih oleh kakaknya. Aku tidak terlalu paham sistem kerja perusahaan itu, yang pasti aku kerja dapat gaji dan jadwalku libur sebulan, itu saja. Karena aku hanya sekertaris Bintang bukan kakaknya.
Tidak butuh waktu lama, aku pun sudah siap. Kami berangkat menggunakan motor sport milik Bintang. Tempat yang dituju kami ini bukanlah sebuah cafe atau restoran terkenal. Hanya sebuah warung lesehan sederhana yang tidak jauh dari tempatku tinggal. Sekitar 15 menit perjalanan akhirnya kami pun sampai di tujuan.
Kami memesan dua porsi mie ayam dan teh manis. Tadinya aku mau memesan kopi tapi diurungkan oleh Bintang yang katanya inilah itulah. Asal kalian tahu, sehari tanpa kopi itu rasanya seperti ada yang kurang, kopi pahit sudah menjadi teman hidupku selama ini. Dia yang menemaniku bertahan masih bernafas, bahagia meski kadang berpura-pura, dan setelahnya Bintang datang melarang untuk terlalu mengkonsumsi bubuk hitam itu. Tapi aku tidak akan lupa dengan kenangan kopi sudah menjadi bagian dari hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir
Short StoryTakdir akan mengubah segalanya. Di saat aku butuh dirimu kau menghilang entah kemana. Tapi aku percaya, jika kita memang ditakdirkan bersama di ujung senja kau akan datang dan hidup bersamaku hingga jannahnya.