_Alam saja kadang mendukung, kadang juga tidak. Seolah-olah ini hanya permainan yang melibatkan kita berdua._
Langit hitam di angkasa sana terlihat begitu indah, saat kerlip bintang berhamburan menemani cahaya rembulan. Ditemani dengan angin malam yang berhembus syahdu, membuat kerudungku sedikit berterbangan.
Ya, kini aku sudah memantapkan hati untuk istiqomah berhijab. Mengikuti saran sahabat-sahabatku termasuk lelaki senja itu, Langit. Tadinya aku tidak menggunakan jilbab, tapi setelah Langit datang ke rumah menjemputku dia menasehatiku dan akhirnya aku memutuskan tidak akan melepaskan tudung ini, juga tidak menunggu menikah dulu, hehe.
"Ja! Kecantikan haqiqi itu bukan dari wajah melainkan dari hati. Memang berat menggunakan hijab, karena sulit untuk mengulurkan kerudung, tapi setiap perbuatan baik akan dibalas baik pula."
"Jangan menggunakan kata 'tapi' dan 'nanti'. Nanti itu kapan? Kalau sudah meninggal? Allah berfirman, Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka! Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Adek tau kan itu surah apa?"
"Surah Al-Ahzab ayat 59," sahutku menatap lelaki berkopyah hitam di depanku.
"Nah, kamu tahu! Lalu tunggu apa lagi."
Aku menunduk tersenyum, lalu sesekali kulirik lelaki berkopyah hitam yang kini tengah bersamaku, duduk di antara rerumputan bukit. Ku kira dia akan membawaku kemana, ternyata di sinilah kami berempat berada yaitu gunung Banyak, Batu. Mungkin karena jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh dari pusat kota Malang. Katanya di sini selain dibuka 24 jam juga kita bisa melihat view kota Batu dari atas gunung. Karena memang menyuguhkan pemandangan yang sangat cantik dengan gemerlap lampu-lampu. Meskipun di sini, aku harus menjaga jarak kurang lebih satu meter dan sekarangpun aku tidak berdua dengannya. Ada keponakanku dan Bintang untuk menemaniku.
"Senja! Langitnya sekarang indah ya."
Aku mengikuti arah matanya melihat. Langit memang indah hari ini. Bulan sedang purnama dan cuaca pun sedang cerah.
'Iya, memang indah jika dinikmati bersamamu.'
Aku hanya menganggukkan kepalaku.
"Kamu cantik lho Dek, kalau pakai hijab. Layaknya bulan itu," ujarnya kepadaku.
Jujur pipiku terasa hangat mendengar kalimatnya, tapi aku sedikit risih dengan kata terakhirnya.
"Lah kok bulan sih."
Dia mengeryitkan dahinya, "Kenapa memang?"
Kenapa? Apa dia tidak mengerti? Aku tidak suka disamakan dengan bulan. Yang jelas-jelas dulu adalah mantan kekasihnya itu. Ya, memang ini perihal bulan di atas langit, tapi sama saja aku tidak suka.
"Kenapa gak matahari, awan, atau langit gitu," ucapku memberi saran lain.
Dia tertawa. Apanya yang lucu? Aku tidak sedang membuat lelucon di sini.
"Hahaha, Langit kan namaku," jawabnya sambil masih tertawa kecil.
"Kalau kayak gini, aku jadi ingat dulu. Waktu aku memaknai kita seperti bintang, bulan, dan langit. Kamu masih ingat kata-katanya, Dek," sambungnya lagi.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Kamu tau, Dek. Di sini aku berperan sebagai bintang, kamu langit, sedangkan dia bulannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir
Short StoryTakdir akan mengubah segalanya. Di saat aku butuh dirimu kau menghilang entah kemana. Tapi aku percaya, jika kita memang ditakdirkan bersama di ujung senja kau akan datang dan hidup bersamaku hingga jannahnya.