22 - Bagian Dua Puluh Dua

371 83 16
                                    

Jam 23.59. Aku dapat mengetahuinya dari jam tangan digital yang dikenakan petugas yang mengunci pergelangan tanganku. Pegangannya kuat dan mantap. Kulitnya yang kencang tanpa kerutan menambah keyakinanku bahwa petugas ini belum cukup tua. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena tertutup masker.

Mereka menggiring kami ke mobil-mobil mengilap mereka. Entah untuk tujuan apa, mereka memasukkan kami ke dalam mobil yang berbeda.

Para perawat di posko ikut menyaksikan kepergian kami sambil memasang raut iba. Ibuku di sana, berdiri di antara para tenaga medis. Wajahnya menunjukkan ekspresi khawatir.

Sejujurnya itu membuatku lebih khawatir. Dalam hati aku ingin meminta maaf karena telah mengecewakannya. Walaupun aku sendiri tidak tahu apakah aku salah atau benar.

Butuh waktu cukup lama sampai menuju Athorios. Meski ini teramat malam, mataku terjaga penuh. Sesekali menatap langit dari jendela mobil agar meyakinkan diriku bahwa masih ada bagian indah yang dapat kulihat.

Sampai di Athorios, kami dipertemukan dengan sub-gedung keamanan Athorios. Ya, ini bukan kantor utama. Tidak sebesar kantor yang utama. Tapi setahuku, kantor ini tidak jauh dari penjara Athorios, yang konon katanya menyeramkan. Aku tidak tahu definisi menyeramkan menurut mereka, tapi tentu saja, membuatku merinding.

Setelah kami dibawa ke dalam, salah seorang petugas yang lebih senior berkata. "Kalian malam ini istirahat, kita lakukan interogasi besok pagi."

"Ran, it's okay.." aku merangkul bahu Ran.

Seorang petugas lain, menggiring kami ke suatu ruangan. Ruangan ini mirip asrama calon tentara. Di Athorios, ada Akademi Putih yaitu sekolah khusus orang-orang yang ingin menjadi tentara. Mereka tidur dalam kapsul-kapsul seukuran badan yang berjejer.

Aidan mencoba menekan salah satu kapsul. Begitu terketuk, penutup kapsul itu otomatis membuka secara pelan.

"Ya, begitu, anak-anak."

Aku, Ran, dan Kak Fay mengikuti langkah yang sama. Kami membaringkan diri di dalam kapsul. Ternyata tidak pengap sama sekali. Sirkulasi udara dalam kapsul tetap terjaga.

Sambil memejamkan mata, aku berharap besok akan ada lampu yang dapat menerangi kegelapan ini.

⏳⏳⏳

Masih timbul rasa penasaran di benakku tentang apa maksud Pak Jono sukarela menyerahkan kami kepada keamanan. Meski ia tak pernah tersenyum pada kami, bukankah perlakuannya cukup membuktikan bahwa ia berpihak pada kami.

"Walikota membuat peringatan empat puluh hari setelah kematian korban gas viridichstyrum.." Aidan membaca sesuatu seperti headline sebuah berita di koran pagi ini.

Kak Fay nampaknya terlihat terpukul dan tidak percaya dengan apa yang ia alami. Sedari bangun, ia hanya duduk melamun di atas kasur.

Aidan membulatkan matanya sambil menunjuk-nunjuk koran yang entah ia dapatkan dari mana. Ia memelototiku, masih menunjuk-nunjuk korannya.

"Katakan saja ada apa." Aku mendekat.

Berapa terkejutnya aku ketika melihat foto yang terpajang bersama artikel berita yang dibaca Aidan tadi. Otakku berusaha mencerna cepat, tapi yang kudapatkan hanyalah pertanyaan dan keraguan.

"S-siapa itu?" Tanyaku, seolah wajahnya terlalu asing.

Aidan tetap serius mengamati foto di koran. "Ini, korban yang tidak selamat karena gas racun. Menurutmu, yang ini bukanlah terlalu mirip dengan..."

"Pak Jono."

"Apa Pak Jono punya saudara yang mirip? Atau mungkin itu hanya kebetulan saja, Dan.." jawabku mencoba berpikir logis.

DIGITAL WAR [Completed] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang