“Ssshhhh.”
“Sakit banget ya, Zi? Gue minta maaf banget ya,” ucap Sheila yang benar-benar merasa bersalah pada Zia. Padahal, ini kali pertama ia dan Zia bertemu lalu berteman. Tapi, ia malah sudah membuat masalah –temannya terluka karenanya.
“Santai, Shei. Luka kaya gini mah biasa aja buat gue,” ujar Zia yang memang sama sekali tak merasakan sakit parah. Ia hanya meringis kecil menahan perih ketika teman barunya itu mengobati tangannya.
Sheila semakin cemas. Ia merasa Zia tengah berbohong padanya. Masalahnya, luka ini cukup parah dan saat belum diobati, darah dari tangan Zia terus menetes. Dan sejujurnya, Sheila agak takut dengan yang namanya darah. Namun, sebisa mungkin ia menghilangkan rasa takut itu ketika melihat darah dari tangan Zia. Bagaimana pun juga, ini juga kesalahannya yang tak bisa memegang pulpen dengan benar.
Zia, gadis itu sepertinya mengerti bahwa Sheila tak percaya dengan perkataannya. Ia tersenyum kecil.
“Gue emang anaknya gak bisa diem, Shei. Dari dulu ada aja ulah gue sendiri yang bikin gue celaka. Pernah waktu itu hujan gede dan banjir. Di saat itu, gue pipis di teras rumah karena di dalem rumah banjir. Teras gue kebetulan tinggi makannya gue pipis disitu biar sekalian ngalir ke bawah nyatu ama air banjir, hehe. Terus pas selesai pipis, gue malah loncat-loncat terus kepleset. Detik itu juga gue pingsan.
Pas gue sadar, gue gak inget apa-apa. Tapi gak lama, ingatan gue balik kok. Yah, yang paling parah sih gue suka menitiin tangan gue sendiri waktu SMP,” jelas Zia.
Sontak Sheila menghentikan tangannya yang sedang memperban tangan Zia.
“Menitiin? Maksudnya?” tanyanya dengan dahinya yang berkerut.“Maksud gue, tangan gue suka gue tempelin peniti. Jadi penitinya nyangkut di tangan gue gitu. Saking seringnya, telapak tangan gue jadi gak mulus-mulus amat. Nih,” ujar Zia lalu memperlihatkan kedua telapak tangannya yang memang dipenuhi bintik-bintik luka.
“Ini bintik-bintik bekas peniti yang gue sangkutin di tangan gue. Udah mulai ilang sih bekasnya. Gak separah dulu,” ungkap Zia menatap kedua telapak tangannya.
Sheila jelas terkejut dengan penuturan Zia barusan. Bagaimana bisa Zia melakukan hal itu pada dirinya sendiri?
“Lo… atas dasar apa lo ngelakuin… itu?” tanya Sheila dengan hati-hati –takut jika Zia tersinggung.
Zia tertawa pelan, menampilkan satu giginya yang gingsul, “Gue ngelakuin itu cuma buat main-main aja.”
“Ya Tuhan, Zi?! Lo serius?! Bukan karena depresi atau masalah lain?”
“Gue serius, Shei. Gue ngelakuin itu karena gue penasaran rasanya menitiin tangan tuh gimana. Selama ini yang gue penitiin kan jilbab gue, nih nih,” balasnya seraya menunjukkan kain jilbabnya di leher.
“Ya tapi gak gitu juga dong, Zi. Anti mainstream banget tau ga lo,” ujar Sheila yang menatap Zia dengan kesal. Bagaimana tidak, Zia melakukan itu hanya untuk main-main saja. Sheila kira, Zia mempunyai riwayat depresi atau ada masalah lain. Kenyataannya? Astaga… apakah tidak ada aktivitas lain yang lebih berfaedah ketimbang menyakiti diri sendiri? Gadis itu bahkan tidak habis pikir dengan pikiran Zia.
“Justru itu! Gue sukanya yang anti mainstream,” jujur Zia sambil tersenyum.
Sheila hanya geleng-geleng kepala dengan gadis di hadapannya ini. Sepertinya ia akan mendapatkan banyak pengalaman baru dari Zia. Tapi tak apa, itu akan membuatnya sedikit demi sedikit bisa melupakan Steve.
Gadis berkucir kuda itu meneliti tangan Zia –barangkali ada kesalahan atau ada yang kotor karena ini adalah kali pertamanya memperban luka seseorang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nube
RomanceAku mencintainya, Sangat mencintainya. walaupun sudah tak bersama aku masih ingat bagaimana cara dia menatapku, cara dia memperlakukan ku, dan bagaimana cara dia membahagiakan ku. Walaupun sekarang aku berada di lingkungan yang baru, dengan sahabat...