Gadis Aneh

4 0 0
                                    

Seoul, Musim Panas 2016


“Musim panas tahun ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Tahun ini mencapai 140 hari, lebih tinggi daripada wilayah Daegu dan Busan. Para pakar menganalisis bahwa gejala tersebut muncul karena pemanasan global dan konsentrasi penduduk serta urbanisasi di kota Seoul, jika—“

Blip.

Song Yiekyung melempar kasar remote TV ke atas meja kaca diikuti helaan napas yang terdengar berat. Ia mengambil posisi berbaring pada sofa merah panjang yang didudukinya saat ini, kedua tangannya terangkat untuk lebih merasakan angin yang dikeluarkan oleh baling-baling kipas di dinding.

“Kapan berangkat?”

“Sebentar lagi, di luar terlalu panas,” keluh Yiekyung kepada ibunya, masih dengan menutup kedua mata.

“Mampirlah ke tempat pamanmu.”

Song Yiekyung mengangguk pelan, kembali mengambil posisi duduk untuk melakukan peregangan pada otot-ototnya. Gadis itu diam beberapa detik dengan pandangan kosong tanpa satu pun kalimat yang terucap. Ia menghela napas beratnya sebelum mengambil langkah meninggalkan ruang TV.

“Mau diantar?” tawar sang ibu.

“Tidak perlu, aku naik taksi saja. Aku pergi,” pamit Yiekyung kemudian ia berjalan mendekati pintu ke luar sambil menarik pelan koper berukuran sedang.

“Hati-hati!” ucap sang ibu sedikit meninggikan nada suara karena Song Yiekyung sudah menghilang di balik pintu rumah.


-=-


Busan dijuluki sebagai pusat musim panas yang berlokasi di ujung tenggara semenanjung Korea. Kota tersebut juga dikenal karena keindahan pemandangan pantainya menjadi tujuan wisata. Di sana menyuguhkan berbagai atraksi kebudayaan setempat yang menarik dan juga merupakan pusat makanan laut terbesar di Korea Selatan.

“Anggap saja ini sebagai liburan musim panasmu,” ucap Yiekyung mencoba menyemangati diri sendiri.

Song Yiekyung menutup kedua matanya, merasakan terpaan angin yang menyentuh kulit, rambut cokelat panjangnya dibiarkan terurai untuk melihat seberapa besar kekuatan angin dari Pantai  Haeundae—satu dari dua pantai yang tersohor di Busan.

====

“Batalkan!”

“Tetapi, Hwijangnim─” Pria berjas hitam itu mengurungkan niat untuk melanjutkan kalimatnya saat mendapati tatapan tajam yang dilemparkan oleh pria berkulit putih gading yang memiliki rahang tegas di hadapannya. Kepalanya tertunduk bukan hanya sekadar memberi hormat, tetapi juga merasa bersalah.

“Pergilah!”

Pria berjas hitam itu sedikit membungkukkan badan sebelum mengambil langkah untuk meninggalkan atasannya tersebut.

“Jadi, apa kita akan kembali ke Seoul dengan tangan kosong?” tanya pria berhidung mancung dan kulit kuning langsat yang tengah duduk dengan menikmati pemandangan pantai.

Cho Hyun melemparkan pandangannya pada hamparan Pantai Haeundae, posisinya saat ini ada di salah satu gedung tinggi yang menjadi pagar bagi pantai. “Bukankah kau harus ikut pergi supaya kita tidak kembali dengan tangan kosong, Hwang Jaesun Siljangmin?” ucap Hyun memberikan perintah tak langsung kepada asisten pribadinya.

Hwang Jaesun membangkitkan tubuhnya dari posisi duduk diiringi helaan napas. “Sekretarismu yang membuat kesalahan, kenapa aku yang harus menderita? Ck, menyusahkan saja!” keluh Jaesun.

Tatapan tajam Hyun tidak mengurungkan niat Jaesun untuk mengeluarkan kekesalan yang ia rasakan. Pria Hwang itu sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh tatapan Hyun yang merupakan atasannya sendiri. Statusnya memang asisten pribadi dan tangan kanan Hyun, tetapi pria Hwang itu selalu bisa memanfaatkan kedekatan keduanya supaya tidak terlalu terintimidasi oleh tatapan tajam penuh peringatan yang dimiliki sang bos.

“Berjalan-jalanlah sebentar! Mungkin robot pekerja dalam tubuhmu akan sedikit mengalah jika terkena air laut,” ucap Jaesun sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan Hyun yang tengah menatap tajam atas saran yang baru saja ia lontarkan.

===

Saat beberapa orang mulai  berjalan meninggalkan kawasan pantai karena matahari sudah terlalu terik, Hyun justru berjalan mendekati bibir pantai. Ia menggulung lengan kemeja putih yang dipakainya sampai batas siku dan berjalan pelan tanpa alas kaki seakan menikmati pasir pantai yang kian memanas.

“Apa kau sedang berlatih menjadi cumi-cumi kering?” ucap seseorang yang membuat Hyun mengalihkan pandangannya.

Cho Hyun mengangkat satu alisnya mendapati ekspresi datar yang ditunjukkan gadis berbola mata cokelat yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengedarkan pandangannya untuk melihat apa ada orang lain selain dirinya di sana.

“Aku berbicara padamu, Tuan Berkemeja Putih,” ucap gadis itu seakan mengerti ekspresi bingung yang tergambar di wajah Hyun.

Terlihat enggan untuk menanggapi kalimat yang dilontarkan orang asing kepadanya, Hyun kembali melanjutkan langkahnya untuk menyusuri bibir pantai. Setelah beberapa langkah, alis Hyun yang tidak terlalu tebal itu terangkat sebelah dan menampilkan ekspresi bingung pada wajahnya saat gadis itu dengan sengaja menghadang langkah Hyun.

Gadis yang tadi berbicara padanya mengulum senyum simpul seraya mengulurkan tangan kanannya kepada Hyun. “Mau berteman denganku?”

Dahi Hyun berkerut ketika menanggapi tawaran aneh dari orang yang tidak dikenalnya. Otaknya seakan menyimpulkan jika gadis berperawakan tinggi dan tidak terlalu kurus itu adalah orang yang memiliki kelaian jiwa.

Merasa tak enak hati karena uluran tangannya diabaikan, gadis berhidung mancung itu menarik kembali tangannya. Meski terlihat jelas guratan kekecewaan di wajah cantiknya, tetapi gadis berkaus putih tersebut masih mengulum senyum. “Baiklah,” ucapnya sebelum meninggalkan Hyun yang masih berdiri mematung dengan menunjukkan tatapan aneh kepadanya.

Setelah benar-benar menjauh dari pantai, Song Yiekyung menggelengkan kepalanya diikuti kekehan ringan untuk dirinya sendiri. Dia tidak mengira jika dirinya baru saja bertindak aneh kepada orang lain yang lebih terlihat seperti tindakan pasien kelainan jiwa. Apa musim panas kali ini benar-benar mampu membuat orang menjadi gila? batin Yiekyung bertanya pada dirinya sendiri.

“Lagi pula, kita tidak akan bertemu lagi,” ucap Yikeyung mencoba berpikir positif atas tindakannya beberapa saat lalu.

“Eonni!”

Song Yiekyung mengalihkan pandangan pada sosok suara yang tidak asing bagi telinganya. Bibir merahnya tertarik membentuk garis lengkung diiringi lambaian tangan untuk gadis berseragam khas murid SMA yang berada beberapa meter di depannya.

“Aku merindukanmu.”

Tubuh Song Yiekyung sedikit terhuyung ke belakang saat gadis SMA itu menghambur dengan cukup kuat ke dalam pelukan Yiekyung. “Aku juga merindukanmu, Namhee-ya,” ucap Yiekyung masih dengan senyum simpul dan menepuk pelan punggung Namhee, sepupunya.

Setelah dirasa cukup puas untuk melepas rindu, keduanya mulai berjalan meninggalkan kawasan pantai. Saling bergandeng tangan layaknya sepasang kekasih yang tengah kasmaran.

“Apa Eonni akan menginap di rumah?” tanya Namhee masih dengan kedua sudut bibir yang tertarik ke atas.

“Mungkin, urusanku cukup banyak.”

“Aku senang mendengarnya.” Mata Namhee mulai berbinar. “Banyak yang ingin aku ceritakan padamu.”

“Aku kemari untuk bekerja! Bukan untuk mendengar cerita konyolmu, Song Namhee,” ucap Yiekyung berpura-pura kesal.

Namhee melemparkan tatapan kesal kepada Yiekyung. Dia tau bagaimana cara bercanda sang kakak, tetapi Namhee masih belum terbiasa dengan candaan Song Yiekyung, terlebih mereka sudah tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama.

Song Yiekyung terkekeh ringan mendapati ekspresi kesal dari saudaranya. Namhee adalah salah satu sepupunya dan memang semenjak Yiekyung mulai bekerja, ia jarang mengunjungi Busan. Kota tersebut merupakan tempat kelahirannya, tetapi setelah sang ayah meninggal, ibu Yiekyung memutuskan pindah ke tempat asalnya di Seoul. Saat itu Song Yiekyung langsung menyetujui keputusan sang ibu kerena ia tahu, terlalu banyak kenangan indah dan memilukan yang terjadi di Busan. Ia tidak ingin ibunya semakin terpuruk meski sebenarnya ia tidak tahu pasti mengapa sang ayah memutuskan untuk mengakhiri hidup, mungkin lebih tepatnya ia tidak ingin mengetahui kenyataan yang ingin dilupakan ibunya.

“Mau menemui ayahmu?” tanya paman Yiekyung ketika melihat keponakannya sudah tiba dan hendak pergi lagi.

Song Yiekyung mengangguk pelan untuk pertanyaan sang paman, jemarinya masih berkutat dengan tali sepatu berwarna hitam. “Aku pergi dulu.”

-=

Baesan adalah salah satu gunung yang terletak di Busan, termasuk gunung yang memiliki alat olahraga gratis dan dapat digunakan oleh masyarakat maupun pendaki di pertengahan gunung dan bebatuan indah yang menghiasi puncaknya. Dari atas Baesan pemandangan Kota Busan bisa dilihat dengan jelas.
Di Baesan juga masih terdapat beberapa gundukan pasir yang merupakan makam¬ karena beberapa tahun lalu tempat penitipan abu hampir tidak ada di Busan. Song Yiekyung berdiri mematung di salah satu gundukan pasir dengan menuangkan satu botol soju yang merupakan makam sang ayah.


“Appa, kau baik-baik saja, bukan? Maaf tidak terlalu sering berkunjung. Aku dan Eomma baik-baik saja.“ Yiekyung tersenyum simpul, terdiam sesaat dengan melemparkan tatapan datar sebelum membungkukkan setengah badan dan meninggalkan tempat peristirahatan terakhir milik ayahnya.

“ Yiekyung tersenyum simpul, terdiam sesaat dengan melemparkan tatapan datar sebelum membungkukkan setengah badan dan meninggalkan tempat peristirahatan terakhir milik ayahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hot SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang