»11«

838 135 5
                                    

Kedua pemuda yang memiliki zodiak sama itu sudah berdiri sambil memandang dua orang yang tengah duduk berjauhan di atas sofa dengan suasana yang terlihat canggung.

"Mereka menikah kerena paksaan, tidak ada cinta apalagi kebahagiaan. Tujuh tahun awal aku lahir, mereka hanya pura-pura bahagia, mereka pura-pura tersenyum dan tertawa di depan Eric, mereka selalu mencoba tidak terlihat canggung saat bersama Eric" salah satu pemuda itu bercerita tentang dua orang itu.

"Mereka bisa punya Eric karena paksaan dari orang tua mereka masing-masing yang teramat menginginkan seorang cucu. Eric tidak tau apa mereka benar-benar sayang Eric atau tidak" sambungnya.

"Semua orang tua pasti sayang anaknya, Eric" ujar pemuda yang lebih tinggi.

"Aku tidak yakin, hyung" pemuda Eric itu mengulas senyum kecutnya.

Keduanya kembali diam masih memandang dua orang yang tengah duduk di atas sofa yang tak lain mereka adalah orang tua Eric.

"Aku masih tidak habis pikir, mereka sudah menikah bertahun-tahun tapi mereka masih terlihat canggung. Kurasa bukan hanya canggung, tapi mereka tidak peduli antara satu sama lain. Apa rasa cinta itu belum tumbuh? Padahal sudah puluhan tahun mereka bersama" lanjut Eric.

Juyeon melirik sekilas ke arah Eric lalu kembali mengalihkan pandangannya ke kedua orang tua Eric. "Rasa cinta tidak bisa tumbuh begitu saja, apalagi mereka disatukan karena paksaan, pasti sangat sulit untuk membawa cinta itu datang. Yang ada hanya rasa benci dan ketidaksukaan yang terus tertanam di dalam hati mereka" ucap Juyeon.

Eric menoleh ke arah Juyeon dengan kepala yang miring, "Woah! Hyung dapat kata-kata seperti itu dari mana?"

Juyeon terkekeh kecil, "Aku pun tidak tau. Tiba-tiba saja berpikir seperti itu dan mengalir begitu saja" jawabnya.

Eric ikut terkekeh sejenak, lalu memusatkan atensinya kepada orang tuanya lagi.

"Sekarang kau mau apa? Apa yang kau lakukan agar satu keinginanmu terkabul?" tanya Juyeon.

Eric melirik ke arah Juyeon lalu tak lama pandangannya menunduk menatap lantai marmer yang terpasang melapisi alas rumah. "Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berdoa kepada tuhan agar membuat mereka bahagia dan menumbuhkan rasa cinta antara mereka"

Juyeon menganggukan kepalanya seolah mengerti. "Aku ha-"

"Aku minta maaf"

Ucapan Juyeon terpotong oleh suara berat milik seseorang. Eric dan Juyeon pun menoleh ke arah sofa dan melihat Tuan Sohn sedang menghadap ke arah istrinya.

"Apa?"

"Aku minta maaf" ulang Tuan Sohn.

"Buat apa? Nanti juga kita akan berpisah. Aku lelah" ucap Ny Sohn yang masih mencoba mengabaikan permintaan maaf suaminya.

"Jangan seperti itu, aku tidak ingin Youngjae sedih lagi. Kali ini aku benar-benar minta maaf. Maaf atas segalanya. Aku harap kita bisa memulai kehidupan yang baru" ucap tuan Sohn sembari mengeser duduknya mendekat ke arah istrinya.

Ny Sohn tidak langsung menjawab, ia menatap manik suaminya mencari kebohongan disana. "Aku tidak percaya" ucapnya sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Aku serius. Aku lelah keadaan kita seperti ini terus selama bertahun-tahun. Aku juga ingin merasakan keluarga yang bahagia. Meski sudah tidak ada Youngjae tapi aku yakin dia ikut bahagia jika kita bersama tanpa paksaan" ucap tn Sohn.

Sang istri masih bungkam, belum merespon ucapan dari suaminya. Setelah lama diam, akhirnya ia pun membuka suaranya. "Bukankah lebih baik kau mencari kebahagian di luaran sana? Daripada tertekan di sini dengan hubungan seperti ini" ucapnya.

Sang suami menggeleng, "Perasaanku sudah mati sejak lama. Kini aku hanya ingin menjalin keluarga yang bahagia bersama ibu kandung Youngjae, bukan yang lain" ucapnya sembari menarik tangan sang istri. "Mari buat kenangan baru lagi"

Pandangan Ny Sohn menunduk, tangannya dibiarkan diganggam oleh sang suami. "Aku tidak menyangka hidupku berjalan seperti ini. Kini aku sangat merasa sangat bersalah kepada Youngjae. Aku tidak becus membesarkannya. Aku merasa tidak pantas menjadi orang tua" ucapnya sambil menitikan air mata.

Sang suami yang melihat istrinya mulai terisak pun mencoba merengkuh tubuhnya. Agak aneh rasanya saat memeluk tubuh istrinya, mungkin karena selama ini mereka tidak pernah sedekat ini. Bahkan berinteraksi dalam satu hari saja bisa dihitung dengan jari, atau bahkan mungkin tidak berinteraksi sama sekali.

"Bukan hanya kau, aku juga merasakan hal yang sama. Kita tidak becus menjadi orang tua. Kita menyakiti anak kita sendiri, bahkan dia tidak pernah salah apa-apa kita pukuli. Kita tidak pernah peduli dengannya. Apa pantas kita disebut orang tua?" ucap Tn Sohn.

Sedari tadi Eric sudah menitikan air matanya melihat orang tuanya seperti itu. Perasaannya campur aduk antara bahagia, sedih, terharu dan berbagai macam lainnya.

"Youngjae, Mama harap kau bahagia di sana. Tolong maafkan kita yang sudah membuat kenangan menyedihkan selama hidupmu. Berbahagialah sayang, Mama sayang kamu" ucap Ny Sohn sembari mengusap sebuah buku album yang berisikan foto-foto mereka bertiga saat Eric masih kecil dulu. Dan sedikit foto Eric yang sudah menginjak sekolah menengah. Album itu Eric sendiri yang membuatnya, di belakangnya banyak tulisan kalimat-kalimat harapan yang Eric tulis setiap di hari ulang tahunnya.

"Hiks..." suara isakan Eric keluar begitu saja dari bibirnya, padahal ia mati-matian menahan suara isakannya agar tidak terdengar oleh lelaki disebelahnya.

Juyeon langsung menoleh ke arah Eric begitu mendengar suara isakannya yang terdengar. Ia melihat Eric yang mengigit bibir bawahnya menahan isakan, tangan pemuda itu terus menerus mengusap pipinya yang sudah basah air mata. Juyeon berjalan mendekati Eric lalu merengkuh tubuh mungilnya.

"Eric mimpi ya?" ucap Eric saat berada di dalam pelukan Juyeon. "Atau Eric lagi menghayal?" tambahnya.

"Tidak, Eric. Ini asli, ini nyata" ucap Juyeon sembari mengelus punggung Eric.

Eric semakin menangis, kepalanya ditenggelamkan di dada Juyeon. Eric senang, Eric terharu. Bahkan ia masih tidak mempercayai ini. Tuhan telah mendengar doanya selama ini dan mengabulkannya. Perasaannya mulai lega, satu keinginanya sudah terwujud.

"Aku senang satu keinginanmu sudah terkabulkan" ucap Juyeon. Eric melepas pelukannya mengelap mukanya lagi dengan tangannya. Lalu mengangguk merespon ucapan Juyeon. "Tapi aku juga sedih, itu tandanya semakin cepat kau meninggalkanku" tambah Juyeon.

Eric menghentikan gerakan tangannya, ia menatap Juyeon. "Jangan berkata seperti itu" ucap Eric lalu kembali memeluk Juyeon.

"Maafkan aku"



Surrender ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang