"Semua orang itu baik, jika berada di sudut pandang yang tepat."
༻❁༺
"Bang Rion!" Bocah dengan baju terusan selutut itu berlari sambil merentangkan kedua tangannya. Raut wajahnya menampilkan rona kebahagiaan. Rambut yang dibentuk seperti anyaman itu ikut melenggak ke kanan dan ke kiri mengikuti langkah cepat gadis kecil tersebut.
Ilarion Arnatha mengulas senyum tipis. Dirinya berjongkok untuk menyambut kedatangan gadis kecil itu. Bedannya yang jauh lebih besar dari anak tersebut langsung merengkuh tubuh sang bocah sambil mengelus rambut dengan sayang.
"Abang kenapa baru datang sekarang?" tanya gadis itu nelangsa.
Kali ini senyum Rion lebih lebar dari sebelumnya. Dia gemas sendiri melihat ekspresi cemberut yang terpampang jelas di wajah gadis kecil tersebut.
"Kamu kangen sama Abang, ya?" goda Rion sambil mencubit gemas pipi gembul dengan rona merah alami milik gadis kecil yang berada di hadapannya.
Bocah umur empat tahun yang tingginya tak sampai sepinggang Rion itu mengangguk. "Alesha takut Abang gak makan yang enak kalo gak tinggal di sini."
Hati Rion mencelus mendengar penuturan yang didasari oleh kekhawatiran tersebut. Setidaknya, masih ada yang perhatian dengan dirinya. Walau hanya anak kecil, itu tidak masalah. Rion merasa—agak—baikan sekarang.
Cowok dengan alis tebal yang terukir gagah di atas mata tajamnya itu mulai mengamit tangan gadis bernama Alesha tersebut. Dirinya berjalan dengan pelan agar bocah tersebut tidak kewalahan menyamakan langkahnya dengan Rion. Sejujurnya dia hanya ingin mampir sebentar di sini. Tak ingin berlama-lama, apalagi bertemu dan bertegur sapa dengan penghuni rumah ini.
Namun, apa boleh buat? Gadis kecil yang notabenenya orang satu-satunya ia sayang ini—tiba-tiba—datang di hadapannya. Bagaimana bisa Rion menolaknya? Dengan senang hati Rion mendengarkan setiap untaian cerita yang keluar dari mulut gadis tersebut. Mulai dari kisah di lingkungan sekolah, kartun favoritnya, mainan-mainannya, bahkan tentang keadaan rumah selama Rion tinggalkan.
"Alesha, Mama udah bilang kalo mainannya jangan ditaruh sembarangan. Kenapa masih kam—" Wanita yang sibuk memasukan beberapa mainan ke dalam keranjang itu terperanjat, sebab matanya menangkap sosok lelaki berkulit agak gelap dengan rahang yang kokoh berdiri di anak tangga yang kedua. "Rion? Kapan kamu sampai, Nak? Kenapa gak kasih tahu Mama dulu? Biar Mama masak yang banyak."
Suara embusan napas yang kasar keluar dari hidung Rion. Dia melirik Alesha yang terdiam.
"Kamu ke kamar kamu dulu, ya? Beresin mainan kamu. Nanti Abang bakal nyusul," ucap Rion seraya mengelus tangan mungil Alesha yang berada di genggamannya.
Alesha mengangguk patuh. Rion berjongkok dan menatap gadis kecil itu dengan hangat. "Kiss-nya mana?" tanya Rion ala-ala AbGan alias Abang Ganteng pada umumya.
Cup.
Satu kecupan kecil mendarat di pipi kiri Rion sebelum langkah kecil itu menjauhinya. Alesha sedikit berlarian kecil menuruni anak tangga, kemudian berbelok ke arah kiri menuju kamarnya.
Tak lupa, Renia—mama Rion yang masih setia menelisik gerak-gerik putranya itu. Entah apa mau wanita tersebut, Rion tak peduli. Bahkan, kalau bisa Rion meminta agar mamanya itu pergi menjauh dari peredaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous
Teen Fiction"Lo udah gue cari-cari selama ini. Lo cewek ukulele yang udah bantu gue beberapa tahun yang lalu," ucap lelaki tersebut dengan seringai khasnya. Siapa saja, tolong musnahkan cowok tengil yang masih setia berdiri di hadapan Zerlin ini. Dirinya muak j...