"Untuk apa kamu bertamu dan memporak-porandakan isi hatiku? Bukankah seharusnya seorang tamu tahu batasan jika berada 'di rumah' orang?"
༺❁༻
"Gue nggak mau, Rion! Sampe kapan pun gue nggak akan setuju dengan keputusan yang lo ambil secara sepihak kaya gini."
Zerlin merasakan langkah kakinya semakin berat. Ia tak bisa melanjutkan tapakan kaki di atas paving block yang sedikit diselimuti lumut itu. Hari ini adalah hari sialnya. Semua rasa sakit yang sempat ia padamkan kembali menyala, setelah mendengar nama lelaki yang lolos dari mulut seorang gadis.
Zerlin tahu siap gadis itu. Rambut panjang yang bergelombang, dengan tinggi badan yang hampir menyamai Zerlin. Perawakan langsing yang berada lima meter di depannya itu adalah Laura.
"Tapi gue udah cape sama lo, Ra!" Kali ini suara lelaki yang menatap tajam ke arah Laura itu semakin meninggi. Menggambarkan kemarahan dan keputus asaan di setiap untaian kata yang dia ucapkan.
"Cape apa?! Cape karena lo berjuang setengah mati buat nyakitin gue? Sementara gue semakin hari semakin jatuh hati sama lo!"
Zerlin bisa menyimpulkan sendiri. Lelaki itu memang biang dari sakit hati yang diderita para cewek sekolahnya. Termasuk Laura, juga dirinya. Zerlin ingat, mungkin konflik yang ada di depannya itulah yang menjadikan Laura seperti zombi di subuh hari.
Laura yang hanya dicampakkan saja merasa sesakit itu. Bagaimana dengan dirinya? Seorang perempuan yang telah mengandung anak dari bajingan di ujung sana.
Sepintas bayangan itu muncul mencekik akal sehat Zerlin. Ia kembali meluruskan pandangannya. Semua kejadian di seberang sana memang tak terlalu jelas di mata Zerlin. Karena air mata sudah menggenang di pelupuk indra penglihatannya.
Seketika ia bersirobok dengan mata tajam milik Rion. Seakan ada sebuah tombak yang langsung menghunus jantungnya, Zerlin merasa semua badannya sakit. Semua perlakuan Rion seakan kembali ia terima dan rasakan. Bagaimana Rion menamparnya, mencekiknya, bahkan membisikkan kalimat tak senonoh kepada Zerlin. Bau alkohol yang melekat di tubuh Rion kala itu, juga bisa Zerlin hidu saat ini.
Mati-matian Zerlin menahan sakit di dadanya. Dia berusaha menjalani hidup seperti perempuan tanpa beban. Tapi tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ia juga tumbang saat sendirian. Zerlin hanya manusia biasa, mencoba mengubur kenangan menjijikan yang pernah terjadi.
Lelaki yang sangat hapal dengan wajah Zerlin seketika mematung. Baru kali ini, Rion kehilangan seluruh kata-katanya.
Telinga Zerlin langsung mendengung. Kepalanya berputar-putar seakan dunia sedang diguncang. Memori kelam yang pernah terjadi antara dirinya dan Rion terus berputar seperti kaset rusak. Potongan-potongan kejadian saat di apartemen Rion, atau bahkan suara rintihan yang ia lontarkan saat lelaki tersebut memaksanya.
Zerlin tak sanggup.
Lehernya seperti dicekik oleh tangan besar yang mengakibatkan seluruh oksigen tak lagi ia dapatkan. Degupan jantung kian bertalu-talu seiring remasan kuat di rambut Zerlin. Entah sudah berapa helai yang rontok, Zerlin tak peduli. Ia hanya ingin mengembalikan kesadarannya.
Namun, nihil.
Tubuh Zerlin bergetar hebat. Perempuan itu tak sanggup menahan bobot tubuhnya sendiri. Sampai akhirnya lutut Zerlin berbenturan dengan paving block—yang dinginnya masih dapat dirasakan walau terhalang kain rok seragamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous
Teen Fiction"Lo udah gue cari-cari selama ini. Lo cewek ukulele yang udah bantu gue beberapa tahun yang lalu," ucap lelaki tersebut dengan seringai khasnya. Siapa saja, tolong musnahkan cowok tengil yang masih setia berdiri di hadapan Zerlin ini. Dirinya muak j...