‍ ..⃗. Chapter 2 𑁍ࠜೄ ・゚ˊˎ

201 37 22
                                    

"Hidup itu banyak plot twist-nya. Jadi, siap gak siap kamu harus terima."

༻❁༺

Sekarang, dia mencoba untuk mengembalikan semua ingatan yang sama sekali tidak tersimpan di kepalanya. Apa sekarang? Perempuan dengan hidung mancung dan bulu mata yang lentik berbaring dengan damai di sampingnya.

Apakah ini mimpi? Atau pengaruh minuman keras masih dia rasakan? Sepertinya tidak. Ada beberapa alasan Rion yakin kalau ini bukan mimpi. Satu, saat jari telunjukknya menyentuh pipi mulus cewek itu—ternyata tidak tembus, seperti di film-film fantasi. Dua, dia beralih untuk memberikan cubitan kecil di punggung tangannya, dan ya! Sakit. Tiga, badannya lengket, kepalanya terasa pusing, yang paling gila adalah pakaian—tidak ada satupun kain yang melekat pada tubuhnya.

Sial.

Rion membalikkan badannya menghadap Zerlin, sambil menopang kepala dengan tangan kiri.

Dirasa sudah cukup bergelut dengan pikiran dan juga wajah Zerlin, dia pun membangkitkan badannya. Menatap jendela yang masih tertutup rapat oleh gorden berwarna coklat muda.

Dia memejamkan matanya sambil mengingat apa yang terjadi semalam. Perlahan—dengan penuh paksaan tentunya—sedikit kejadian bermunculan.

Di satu sisi, Rion tak menyalahkan dirinya atas kejadian yang menimpa dirinya tadi malam. Ah tidak, lebih tepatnya menimpa Zerlin. Lagipula, salah siapa? Zerlin, bukan? Siapa suruh dia memiliki tubuh bagus. Jadi, Rion tak salah karena merasa terangsang. Rion merasa sedikit tenang dengan pemikiran yang pada dasarnya hanya untuk membela diri sendiri.

Tak salah dan tak mau disalahkan.

Rion kembali merebahkan badannya. Memposisikan dirinya senyaman mungkin untuk memandang Zerlin. Matanya meneliti setiap detail tubuh gadis itu. Kulit putih, rambut panjang sebahu, bibir merah muda—jadi tak salah dia berbuat seperti tadi malam. Dia melakukannya pada orang yang benar. Sempurna.

Dia menyelipkan anak rambut Zerlin ke belakang telinga cewek itu. Sambil tersenyum dia mengelus leher yang indah milik Zerlin.

Di leher tersebut, terdapat tanda lahir berwarna cokelat. Terlihat jelas di matanya. Tenaga Rion melemah. Tangannya berangsur turun untuk menyentuh tanda lahir tersebut.

Matanya memanas dan napasnya tercekat. Zerlin, dia ... iya, benar ini dia. Apa yang sudah Rion lakukan?

"G–gue, gak salah o–rang, kan?" Hanya pertanyaan itu yang bisa ia lontarkan.

Rion menarik napas dengan dalam. Dia mengambil posisi duduk dengan badan yang membungkuk. Bungkuk karena tahu kalau perbuatannya salah. Dan beban hidup kembali nangkring di pundaknya.

Kaki kanan Rion terlebih dahulu menyentuh lantai keramik yang bermotif kayu. Kemudian di susul oleh kaki kirinya untuk berdiri di atas dinginnya keramik itu.

Dengan langkah yang tertatih-tatih, Rion berjalan menuju lemari besar yang terdiri dari beberapa pintu dan laci. Serta dilapisi dengan cermin yang mengisi penuh permukaan lemari tersebut.

Dia membuka pintu lemari yang di baliknya menyimpan pakaian santai. Sesaat setelah pintu lemari tertutup, Rion menatap pantulan tubuhnya di cermin. Dia terus mengolengkan kepalanya. Berusaha meyakinkan dirinya kalau cewek itu adalah orang yang salah.

MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang