Chapter 4

32 12 3
                                    

H A P P Y R E A D I N G !


Seminggu terakhir hari-hari Eliana sedikit tenang,  mamanya tidak lagi mengamuk. Entah sudah sembuh ataupun capek, Eliana masih belum yakin. Tapi melihat mamanya sering melamun saat dia mengintip diam-diam ke kamar mamanya membuatnya merasa sakit.

Ia jadi mengingat papanya. Kalau di ingat-ingat atas perlakuannya, Eliana pantas membenci papanya. Namun hal itu tidak ia lakukan, lebih tepatnya ia tidak bisa membenci papanya.

Seburuk apapun perlakuan orang tuamu padamu, sejahat apapun dia, sekejam apapun dia. Dan sebesar apa kau membencinya. Bukankah itu semua tidak bisa melawan kenyataan bahwasanya kau tetaplah darah dagingnya?.

Sama halnya dengan Eliana, ia berpikir bahwa membenci tidak akan ada gunanya, apalagi memiliki dendam. Rasanya tidak pantas seorang anak membenci dan dendam dengan orang tuanya sendiri.

Eliana hanya rindu, rindu masa dimana ia, mama, dan papanya masih dalam keadaan baik-baik saja.

Di bangunkan saat pagi, di temani tidur, belajar mengayuh sepeda, di marahi saat pulang telat, usapan lembut di kepala, ciuman kasih sayang di dahi, pelukan hangat.

Sangat berbeda dengan sekarang, tidak ada lagi hal manis seperti itu. Paginya di bangunkan oleh alarm, tidak ada yang memarahinya saat ia pulang terlambat, bahkan tatapan teduh pun hanya ia dapatkan saat mamanya sedang tidak sadar jika di tinggal oleh papanya.

Namun itu sudah cukup bagi Eliana, meskipun dalam keadaan tidak sadar, setidaknya ia bisa melihat tatapan teduh mamanya padanya.

Tok Tok Tok

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan gadis dengan rambut sepinggang tersebut, Eliana bangun dari kasur king sizenya lalu berjalan untuk membuka pintu kamarnya.

"Bi ida, ada apa bi?"

"Dari tadi siang non belum makan, ini bibi bawa makanan buat non" ucap Bi Ida sambil melirik nampan yang ia bawa.

Eliana tersenyum lalu menggiring Bi Ida masum kedalam kamarnya. Ia mengajak Bi Ida duduk di pinggiran kasurnya.

"Eh—eh kenapa Bibi di suruh duduk sini non?"

"Elin boleh minta sesuatu sama bibi?" tanya Eliana sembari tersenyum.

"Tentu, non udah bibi anggap anak bibi sendiri" ucap Bi Ida sambil mengusap kepala Eliana.

Eliana memejamkan matanya kala merasakan usapan di kepalanya, selama ini mamanya tidak pernah memperlakukannya seperti apa yang dilakukan Bi Ida padanya. Tentu saja sejak kejadian kelam itu.

Eliana membukan matanya, menatap teduh mata wanita paruh baya di depannya lalu menunduk.

"Elin mau di suapin bi, bibi mau kan suapin Elin?" Eliana mendongak dengan wajah yang sudah banjir dengan air mata.

Bi Ida sedikit tertegun kemudian mengangguk. Ia menyendokkan nasi beserta lauknya kedalam mulut Eliana.

Eliana menerima suapan Bi Ida, ia membayangkan jika yang di depannya adalah mamanya. Air matanya semakin deras kala ia manatap mata Bi Ida yang juga menitihkan air matanya.

Ia tidak sanggup lagi menahan tangisnya. Diambillah nampan yang di pangkuan Bi Ida lalu ia pindahkan di atas nakas. Dengan segera ia memeluk Bi Ida. Orang yang ia anggap mamanya sendiri. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan Bi Ida.

"Elin sakit bi,hiks... sakit hiks...bi. Selama ini cuma bibi yang nemenin Elin...hiks... ,Elin Hiks... Hikss...Elin capek bi"

"Bibi percaya non Elin anak yang kuat, anak yang tegar, dan selalu tersenyum. Yakinlah jika semua pasti sudah di atur dengan baik oleh pembuat skenario kehidupan kita" Bi Ida mengelus punggung Eliana yang berada di pelukanya. Ia juga sama halnya dengan Eliana, melihat perlakuan nyonyanya pada anaknya yang tidak bisa di bilang baik membuat naluri seorang ibu pada dirinya tersentuh dan ikut merasakan sakit.

ElianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang