Part 3

19 6 3
                                    

"Mbak Senja yakin pulang sendiri? Udah sore ini."

"Iya. Sendiri aja. Kamu kan masih ada kelas malam."

"Tapi hp nya jangan dimatiin yaa. Harus on terus whatsapp-nya."

"Iya Tari. Bawel banget sih. Mbak pulang dulu ya... Kamu hati-hati."

"Mbak Senja yang harus hati-hati."

"Iya. Ampun deh. Dadah"

Mentari akan selalu merasa buruk jika harus membiarkan sang kakak bepergian sendiri, bertopang pada tongkat, kaki ketiga gunanya. Merasa takdir selalu berlaku buruk bagi sang kakak.

Melangkah menjauh, Senja sengaja segera meninggalkan Mentari. Jika tidak, maka tidak ada jaminan bahwa Mentari mau untuk mengikuti kelas malamnya, lebih memilih mengikuti Senja sampai dengan selamat di depan pintu kamar. Sedikit berlebihan, tapi itulah apa adanya Mentari untuk Senja.

Dengan langkah mantap -setelah sedikit meragu, Senja berjalan menuju pintu keluar. Sedikit tertatih dengan tongkat penyangga di tangan kanan serta tas kecil yang tersampir di pundak kiri. Hendak menarik tuas saat tiba-tiba sebuah tangan turut menjangkaunya. Dan saat itu pula Senja seakan menyesal, seandainya tadi lebih memilih untuk diantar sang adik.

"Eh, maaf ngga sengaja."

"Ngga apa-apa kok. Duluan aja mbak."

"Oh, makasih."

Dalam setiap langkah, kemanapun Senja menempuh jarak, doa pada sang Tuhan tak pernah lekang. Semoga Tuhan mampu menjauhkan jalan takdirnya dari sosok prianya yang dulu. Semoga Tuhan mampu mengubah detik waktu agar tak bersinggungan dengan waktu prianya dulu. Agar takdir benar-benar takkan menemukan mereka. Tapi sepertinya Tuhan hanya mendengarkan doanya untuk sekejap saja. Dan dalam sekejap itu pula, Tuhan membuat alur cerita yang baru untuk dirinya juga si pria.

"Mas, kok bengong?"

"Eh, apa mbak? Maaf, ngelamun, hehe."

"Bisa bantu buka pintunya? Ngga bisa bu...eh, kok nangis? Mas ngga apa-apa?"

Langit, andai kau tahu bahwa bahagiamu sekarang sedang berada dihadapan. Maka apa yang akan kau lakukan? Nama yang sering kau baca di buku kecilmu sekarang sudah dipertemukan takdir padamu. Dan, Senja. Apakah kau tahu? Seberapa jauh kau melangkah meninggalkan pria di hadapanmu. Sampai wujudmu saja dia tak dapat mengingat. Bahkan namamu saja, dia harus membuka buku catatan terlebih dahulu untuk memunculkanmu kembali. Apa kau tak cukup merasa buruk untuk itu?

"Ngga apa-apa kok mbak, lagi pusing. Sini, saya bantu buka pintu."

"Terima kasih. Saya duluan ya mas. Masnya hati-hati."

Dan cukup seperti itu Senja berusaha lolos dari takdirnya hari ini.

~~~***~~~

"Mbak Senja udah nyampe kost aku belum?"

"Udah. Ini baru mau mandi. Kelas kamu belum mulai?"

"Kayanya ngga jadi deh mbak. Kabarnya sih dosennya lagi dinas keluar kota."

"Oh, gitu. Pulang aja kalau gitu. Temenin mbak."

"Iya mbak, aku pastiin dulu. Nanti aku kabarin lagi kalau jadi pulang cepet."

"Oke"

"Oke mbak. Aku tutup yaa..."

"Eh, Tari!"

"Apa mbak?"

"....."

"Mbak Senja?"

"Ngga jadi deh. Cepet pulang aja kalau kelas kosong."

"Iya mbak Senja, bawel deh. Udah yaaa, aku tutup. Dadah mbak Senja."

"Iya, dadah Tari."

Senja merasa ini semua salah. Tak seharusnya dirinya berada di kota ini. Tak seharusnya Senja menyusul adiknya, Tari. Kalau saja Ayah dan Bunda tak mengijinkannya kala itu, mungkin Senja tak akan pernah bertemu kembali, dengan dirinya.

Apakah dia mengenaliku? Kenapa tadi dia menangis? Kenapa dia jadi kurus sekali? Apa dia sakit? Kenapa penampilannya jadi berantakan sekali? Apa kau hidup dengan baik, Langit?

Haaaah...

Mungkin berendam di air hangat akan sedikit membantu. Menghilangkan sesak yang tiba-tiba datang. Beranjak dari ranjang dan memilih berjalan dengan bertumpu pada tiap tepian dinding, Senja segera menuju ke kamar mandi. Memilih menghilangkan sedikit kenangan yang membawanya pada masa yang lalu.

~~~***~~~

Pukul tiga dini hari dan ponsel Senja telah berdering nyaring, membangunkan empunya dengan sedikit lenguhan malas saat mengangkatnya.

"Halo, Bunda?"

"Senja?"

"Iya. Ada apa Bun? Masih jam tiga kok udah telfon?"

"Ehm...kamu bisa kemas barang sekarang? Mentari juga."

"Buat apa Bun? Besok aku harus ke kampus buat ngurus administrasi pindahan."

"Kamu harus pulang sekarang. Nenek Melati meninggal."

"..."

"Halo? Senja?"

Langit. Maaf. Maaf karna aku harus turut memperburuk takdirmu. Maaf karna aku tidak bisa hadir sebagai Senja di saat seperti ini. Maaf untuk semua yang telah aku lakukan padamu.

"Iya Bun. Senja langsung beres-beres setelah ini."

"Kamu hati-hati berangkatnya. Bunda tutup ya..."

"Iya Bunda."

Waktu sangat mudah berlalu. Namun waktu tidak begitu cepat menghilangkan ingatan dalam benak seorang insan. Sesaat setelah mendengar kabar dari Bunda, semua rekam kenang dengan nenek kembali tergambar dengan jelas. Bagaimana beliau dengan senyum rentanya begitu bersemangat saat menyiram seluruh tanaman. Dan masih teringat dengan jelas bagaimana nenek begitu menyayangi cucu laki-lakinya.

Nenek, maafkan Senja.

~~~***~~~




Dari part ini akhirnya kalian tau kalau Senja adalah tokoh wanitanya. Atau kalian udah tau dari awal? 😅
Di part ini dan part selanjutnya mungkin aku coba pake pov-nya Senja. Walaupun mungkin ga bisa terlalu banyak kasih gambaran karakternya Senja ini kaya apa. Pelan-pelan guys 😅
Anyways, semoga kalian suka part ini yaa 🤗

Terima kasih 💜
-A.E.Y.P

Karna Langit Merindu SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang