Part 10

14 5 11
                                    

Berada di bangku penumpang depan, membuat Senja dapat dengan leluasa menikmati jalanan kota sore hari. Aspal jalan mulai dihiasi bayang bangunan dan pepohonan yang memanjang. Meski cukup padat kendaraan yang melintas, namun suasana teduh tetap terasa. Pun tak mengurangi keindahan pemandangan sore hari ini. Matahari di ujung barat sana bersinar jingga, terang, namun tak menyengat. Manusia di sampingnya pun juga tak menunjukkan tanda-tanda menyebalkan seperti biasanya. Dia tenang, anteng, dan tidak bertanya neko-neko.

"Kok tadi bisa sama Langit?"

"Tadi ngomongin apa sama Langit?"

"Lo aslinya kenal Langit udah lama kan? Ngaku deh!"

Dan keheningan yang baru saja dipuja-puja oleh Senja harus musnah. Bima tetaplah Bima. Manusia yang katanya menuju dewasa dan suka berbicara. Tak akan betah bila harus menahan rasa penasaran barang satu menit saja.

"Ngga sengaja aja. Karna gue diteriakin anak-anak, ngehalangin jalan. Langit dateng, bantuin gue nepi. Terus duduk aja, ngobrol bentar." Mau tak mau Senja tetap akan menjelaskannya. Jika tidak, Bima akan tetap bertanya sampai Senja mau menjawab. Atau, Bima akan tetap diam. Tidak akan bertanya. Dan terus tidak akan bertanya sampai hari-hari berikutnya, marah tentu saja.

"Oooh, kirain." Seloroh Bima ujungnya.

"Udah? Gitu doang?"

"Ya emang mau apa lagi?"

Senja sungguh tidak tahu. Berapa persen tingkat penasaran temannya ini pada suatu masalah. Serasa menyesal mau saja menjawab pertanyaan Bima yang terkadang tidak terlalu penting. Bahkan sering tidak penting sama sekali.

"Nyesel ah, jawab lo Bim. Udah nanya mulu, maksa. Taunya...!"

"Kan gue cuma nanya. Dan lo udah jawab. Ya udah dong. Gue ngga kepo-kepo banget jadi orang." Lain di mulut, lain pula di hati. Setelah ini, Bima akan dengan getol mencari tahu. Hubungan apa yang melatarbelakangi pertemuan Senja dan Langit sebelum ini. Bahkan Bima dapat dengan jelas melihat sorot mata dari keduanya. Mereka tak benar-benar baru mengenal satu sama lain. Seakan mereka pernah, bahkan sering bertemu dan bersama sebelum Bima mengenal Senja.

"Iyain aja deh."

"Habis ini mau kemana?"

"Langsung pulang aja. Tugas gue belum rampung."

"Tugas yang mana lagi?"

Dan perjalanan menuju rumah kost Senja diisi dengan Bima yang terus saja mengomel marah pada Senja. Karna gadis itu lupa mengingatkan Bima tentang tugas baru dari Prof. Bambang. Pun Senja hanya akan membalas dengan menyengir lebar, merasa bersalah dan lucu pada Bima. Bima akan jauh dari kata gentle saat mengomel seperti ibu kost sebelah rumah kostnya.

~~~***~~~

"Kamu inget, Langit?"

"Iya. Yang waktu itu kita tabrakan di perpustakaan kan?"

"O-oh, iya."


"Emang gue salah ngomong ya?"

Langit mengingat perbincangannya kala itu. Di dudukan bawah pohon flamboyan yang teramat besar dan rindang. Dua hari yang lalu? Jawaban dari Senja tak memberi kepuasan bagi Langit. Gadis itu terlalu misterius baginya. Langit yakin bahwa gadis itulah yang namanya tersurat ditiap lembar catatan sederhananya. Tapi kenapa? Gadis itu seakan tak mengenal Langit. Atau memang hanya Langit yang merasa?

Tiap Langit menatap paras Senja, gadis itu terasa seperti pesakitan yang menahan luka menahun. Siap memuntahkan semua perihnya, namun tertahan hanya sampai diujung ranum pun tersirat dari sorot matanya.

Karna Langit Merindu SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang