Part 2

31 6 5
                                    

Mata harus dibuka paksa kala sebuah gambaran dalam mimpi kembali terputar. Lagi-lagi, seorang gadis nampak dalam bunga tidurnya. Gaun putih berseri melambai saat tertiup bayu, pun surai kecoklatan nan panjang juga ikut diterpa. Wajahnya begitu sendu, namun Langit tak mampu mengenali siapa gerangan. Meski hanya bisikan yang Langit dengar -atas namanya tentu saja, namun justru sangat menyiksa batin. Saat Langit tak mengenali dan tak tau harus berbuat apa, suara sang puan selalu terngiang dalam gendang rungunya. Seakan suara-suara tersebut nyata berupa, disisinya. Bersalah dan bodoh. Langit merasa dipermainkan oleh mimpinya sendiri. Dan saat napas berhenti menggebu, selalu, bulir keringat di pelipis serta linangan air dari pelupuk mata tak lagi mampu ditahan. Menetes sedih dibilah pipinya. Langit lelah. Tiga sampai empat hari dalam seminggu, Langit akan terus seperti ini. Tersedu dalam tangisnya saat terbangun pukul tiga dini hari karena mimpi.

"Langit!", pintu digedor dengan paksa dari luar kamar. Suara Bunda, batinnya.
Dengan sedikit tergupuh, meloloskan diri dari belit selimut, Langit meluncur menuju pintu dan dengan tergesa pula membuka bilah kayu itu.

"Ada apa Bun? Masih gelap loh kalo mau ke pasar."

"Kamu cepet mandi, kemas baju secukupnya. Kita berangkat jam 4 ya."

"Hah? Jam 4? Kemana? Ngapain sih Bun?"

"Kita harus ke desa. Nenek kamu meninggal."

Dan saat itu, Langit merasa dunianya hancur kembali, ke sekian kali.

~~~***~~~

Satu yang Langit syukuri, bahwa desa tempat neneknya tinggal masih tersimpan manis dalam memori ingatan. Jalanan aspal yang bergelombang, pun tiang-tiang lampu di kanan-kirinya, bentangan lahan sawah yang teramat luas, dan juga yang semenjak dahulu tidak pernah berubah tentu saja, jajaran pot bunga milik nenek. Pot bunga dengan cetakan motif floral yang menyembul disisian pot.

Hei bunga, apabila semua ini benar adanya, hanya bila ini semua benar-benar terjadi, siapa yang akan merawatmu seterusnya? Haruskah kau ku bawa ke kota? Oh, agaknya sulit. Tak akan ada tempat yang cukup untuk menampung berbagai jenis mawar, anggrek, dan teman-temanmu.

Langit kecil begitu dekat dengan sosok nenek. Sosok yang membuatnya tumbuh menjadi pria yang beranjak dewasa dengan citra maskulin, tapi diajarkan untuk mencintai alam. Hewan dan tanaman, contohnya. Menjadikan Langit tumbuh menjadi sosok yang gentle, namun tetap mempunyai sisi lembutnya sendiri. Nenek juga lah yang mengajari Langit untuk pertama kalinya memanjat pohon rambutan. Yah, walaupun harus terjatuh karna serangan semut, kala itu. Tapi semenjak itu, Langit tahu bahwa semut tidak berbahaya seperti yang dikatakan Lili —keponakannya yang teramat jahil. Memori yang mengelitik ingatan, menimbulkan setitik air pada ujung pelupuknya. Ungkapan sedih dari Langit.

Nenek adalah salah satu dari tiga wanita yang dia sayang, begitu yang tertulis di buku catatannya. Tentu bersanding dengan Bunda dan...entahlah, siapa wanita satu lagi yang Langit ingin sayangi. Namanya tak pernah Langit ingat. Tak ada jejak apapun yang dapat mengenalkan Langit dengan sosok nama yang tertulis di buku catatannya. Nama yang dua tahun ini membuat segala kecamuk dalam diri seakan berlomba-lomba keluar, membuncah, meninggalkan sisi kewarasannya.

Haaah...

Helaan napas yang akan selalu Langit lakukan jika sudah mengingat nama itu.

~~~***~~~

Langit duduk bersanding dengan Ayah. Lengkap dengan kemeja dan celana kain panjang serba hitam —ungkapan berkabung pahamnya. Indranya berpendar, mengamati setiap wajah yang hadir mengungkapkan duka cita atas berpulangnya sang nenek. Banyak, sangat banyak. Sangat banyak orang yang datang melayat ke rumah nenek. Menandakan bahwa banyak yang merasa kehilangan atas meninggalnya nenek. Menandakan bahwa nenek adalah wanita tua yang sangat disayangi.

Langit lelah. Tak kuat dengan perasaan sesalnya yang jarang berkunjung menengok nenek dimasa lalu. Memilih berdiri dan undur diri,

"Langit keluar dulu ya Yah, nggak kuat."

"Ya udah. Mau kemana?" Jawab Ayah seakan paham maksud Langit yang ingin menghilangkan beban.

"Ke taman deket jembatan. Kalau Bunda nyariin, bilang aja Langit kesana."
Tak ada suara dari Ayah, hanya anggukan sebagai tanda ijin dari Ayah.

Segera Langit melesat keluar lewat pintu samping. Tak jarang memberi salam dan tersenyum pada tetangga yang dia temui, turut membantu segala keperluan di rumah duka ini. Ternyata cuaca berkhianat. Begitu cerah saat perasaan Langit begitu kacau. Tak maukah atmosfer ini turut membantu mendukung mendungnya hati Langit? Seperti pada drama dan film yang sering Lili ceritakan. Jika suana duka seperti ini, maka langit akan mendung, tak jarang hujan bahkan badai. Mungkin cuaca pagi menjelang siang ini adalah gambaran dari perasaan neneknya. Perasaan tanpa beban saat meninggalkan dunia. Pikir saja seperti itu.

Setiba di taman, dekat dengan jembatan yang melintang di atas sungai, tepat di bawah pohon besar yang rindang. Langit tercenung. Gadis itu, di sana...

~~~***~~~



Hai guys, i'm back 🤗🤗
Di part 2 ini, aku coba buat nunjukin sedikit karakter Langit itu cowok kaya apa. Menurut kalian, Langit ini terlalu lembut ga sih sebagai cowok? Dengan nunjukin kalau dia sesedih itu kehilangan neneknya. Karna jujur, dikehidupan nyata aku masih nemuin cowok yang gentle, tp lembut dan sayang banget sama keluarganya.
Semoga suka di part 2 ini yaa...🤗

Terima kasih💜
-A.E.Y.P.

Karna Langit Merindu SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang