27. Fakta Baru

74 17 8
                                    

Terlalu pengecut menghadapi kenyataan
Terlalu ambis menggapai impian
Terlalu cinta hingga saling mendamba
Terlalu bodoh menutupi kenyataan bahwa kita beda.

🌸🌸

Setelah pertemuan Aini dan Vaden kemarin, perasaan Vaden berangsur membaik. Perasaan marah, gelisah, kecewa kian sudah bisa ia kendalikan.

Malam ini, setelah pulang dari tongkrongan bersama teman-temannya, Vaden memutuskan untuk pulang ke rumah. Mengingat, sekarang sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB.

Saat Vaden sedang memacu kecepatan motor Ninja ZX10-R miliknya, tiba-tiba anak perempuan menyeberang jalan tanpa melihat kendaraan yang tengah berlalu lalang membuat Vaden terpaksa mencakram motornya.

Ciiiittt....

Bunyi decitan ban terdengar nyaring. Membuat banyak kendaraan berhenti dan memperhatikan Vaden yang hampir saja terjatuh dari motor.

Karena kesal, pengendara lain sontak memarahi anak tersebut sehingga membuat anak itu menangis sesegukan.

Melihat itu, Vaden memutuskan untuk turun dari motornya dan memarkirnya dipinggir jalan.

Sebelum menghampiri anak itu, terlebih dulu Vaden menenangkan pengendara lain dan mengatakan tidak apa-apa. Alhasil, mereka hanya mengangguk dan meninggalkan Vaden berdua dengan anak itu.

"Sudah, sudah, jangan menangis," bujuk Vaden ketika sudah berjongkok untuk mensejajarkan tingginya.

"Tapi aku takut," jawabnya. Anak itu terlihat gemetaran. Tangan mungilnya terus saja mengucek matanya.

"Kenapa takut? Kan ada kakak." Vaden mencoba memegang bahu anak perempuan itu yang berakhir anak itu memeluk Vaden sambil menangis.

Vaden tersenyum. Entah kenapa anak ini mengingatkannya pada Aini. Ia teringat saat Aini melakukan hal yang sama dengan mencoba menolong anak laki-laki di depan toko waktu itu.

Belum lagi, anak ini juga mengenakan hijab seperti Aini. Sangat manis, namun lebih manis Aini nya.

Lama Vaden membiarkan anak itu menangis. Akhirnya sesegukannya sudah tak terdengar lagi. Anak itu kembali berdiri di depan Vaden.

"Udah enggak nangis lagi, 'kan?"

Anak itu hanya mengangguk.

"Nama kakak Vaden. Kamu?"

"Vanya," jawabnya dengan wajah polos.

"Nama kita depannya sama. V"

"Bunda aku suka huruf V," jelas Vanya.

Vaden hanya terkekeh.

"Oh, iya, malam-malam begini, kok, Vanya masih ada diluar?"

"Vanya kesini buat beli es krim."

"Sendirian?" tanya Vaden. Pasalnya Vanya ini masih kecil. Kalau Vaden memperkirakan, mungkin Vanya masih berusia lima atau enam tahun.

"Sama kak Vania tadi. Cuma aku lari duluan ninggalin kakak."

Vaden yang merasa gemas pun tak kuasa menahan dirinya untuk tidak mencubit Vanya.

"Lain kali enggak boleh gitu, ya. Bahaya soalnya. Ini kan jalan raya, banyak kendaraan lalu lalang."

Vanya hanya mengangguk.

Tak lama, anak perempuan yang lebih besar dari Vanya datang menghampiri. Anak itu sepertinya berusia sembilan tahun.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang