34. Satu Kesempatan

75 17 6
                                    


Satu persatu tanda tanya yang berputaran di benak Aini kian terjawab sedikit demi sedikit.

Keingintahuannya tentang masa lalu Vaden kian tersibak menemui titik terang.

Aini tersenyum, ia telah mengaku pada dirinya sendiri bahwa ia menyayangi laki-laki yang sedang dirawat di dalam rumah sakit ini.

Karena rasa sayangnya, Aini tidak akan membiarkan Vaden berlarut-larut akan kebencian yang akan berujung penyesalan.

Aini berjanji pada dirinya sendiri akan memperbaiki kembali hubungan ibu dan anak itu. Aini akan melakukannya.

●●●


Hari ini, Vaden sudah diizinkan untuk pulang. Beruntung luka yang ia dapat tak terlalu dalam sehingga ia tak perlu menginap di gedung putih ini terlalu lama.

Bian, Aini, dan Natha lah yang menemani Vaden keluar dari rumah sakit.

Beberapa hari ini Ariti memang tidak terlihat sama sekali. Bukan tanpa alasan, Ariti memang tidak tau kondisi Vaden sekarang. Yang Ariti tau, Vaden sedang menginap di rumah Bian.

Itu semua permintaan Vaden, sehingga mau tak mau Bian harus membantunya berbohong pada Ariti. Vaden hanya tidak mau menjadi alasan kekhawatiran niniknya.

Aini sudah akan masuk ke mobil dan duduk di kursi depan, namun Vaden dengan cepat menahannya.

"Kamu mau duduk di depan? Di dekat Bian?" tanya Vaden.

Aini mengangguk. "Kenapa?"

"Emang kenapa? Masalah? Lagian kan cuma duduk doang elah, lebay!" timpal Bian yang tau betul arah pembicaraan mereka.

"Kamu tumben aneh kayak gini," komentar Natha.

Vaden yang mulai merasa di sudutkan pun terpaksa tersenyum.

"B-bukan apa-apa. B-bian kan belum lancar bawa mobil. Kalau ngerem suka mendadak. Aku aja yang duduk di depan," alibi Vaden yang tak memedulikan yang lain lagi. Ia memilih masuk ke dalam mobil lebih dulu.

"Semua juga tau kali aku lebih dulu tau naik mobil dibanding bapak Vaden yang terhormat. Gengsi banget bilang cemburu," ketus Bian sebelum ia melajukan mobilnya.

"Apa-apaan sih Bian!" tegur Natha yang tidak suka akan situasi sekarang.

Sedangkan Aini hanya tersenyum malu-malu melihat Vaden yang mulai salah tingkah di kursi depan.

"Bian, nanti turunin aku di pos, ya," ujar Aini.

"Dijemput siapa?" tanya Vaden menoleh kebelakang.

"Abi."

"Enggak, enggak. Nanti biar dianterin sampai rumah kamu aja," tutur Vaden membuat Natha mendengus.

Aini menoleh, melihat raut Natha yang terlihat kesal, tentu saja Aini akan merasa tidak enak.

"Eh enggak usah. Nanti biar abi aja yang jemput," tolak Aini.

"Enggak apa-apa, Aini biar dianter aja," paksa Vaden.

"Iya. Nanti abi bilang apa kalau anaknya di turunin pinggir jalan," kali ini Bian yang berbicara. Mau tidak mau Aini mengiyakan.

Setelah hening beberapa detik, ponsel yang Aini genggam menyala, memunculkan nama Vaden di layar. Rupanya laki-laki yang sedang duduk di depannya itu mengiriminya sebuah pesan.

JanandayaVaden
Tadi pas di rumah sakit katanya mau ngomong sesuatu. Apa?

Aini tersenyum geli.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang