Decision

3 1 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Tiga puluh menit, selepas melewati sebuah mimpi buruk di hari Tujuh Puluh Empat

*****

Cakrawala tak memihakku, untuk pagi ini. Bahkan kurasa, ia tengah menertawaiku yang tanpa henti menggerakkan tungkai seraya menggigit kuku jempolku; begitu risau. Kini kuluman bibir bawahku, seakan menjadi permulaan pada tiap kalimat sanggahan; yang nyatanya tak berguna.

.

Tak ada satupun dari tiga kepala lainnya diruang tengah ini, yang menaruh kepercayaan akan pernyataanku; yang malah dianggap bualan semata.

Alisku mengernyit ketika Ibu beranjak, lantas kembali bersama dua cangkir coffee yang masih mengepulkan asapnya. Hingga membuatku merutuk bahkan mengumpat dalam benak, lantas mengujar, "Kenapa Ibu memberikan suguhan kepada penguntit mesum ini? Harusnya kalian mengusirnya saja. Pria ini telah melecehkan putrimu!" sarkasku, yang hanya dibalas sorot tajam pria yang berusia tiga tahun di atas Ibu.

Oh sial, Ibu dan Ayah sama saja. Apa mereka benar-benar mempercayai kalimat pria sinting di sampingku ini?

Kerut di kedua sisi mata Ayah kian kentara, tatkala seutas tawa renyah ditampilkan sebagai balasan kekehan kecil Jay. Pria paruh baya yang semula menatapku, kini mengalihkan pandangannya pada Jay seraya menggeserkan satu bungkus rokok diatas permukaan meja.

"Oh saya sudah berhenti merokok Ayah." cegat Jay, lekas memicu tawaku yang mulai membeludak.

Ayolah, indra pendengaranku masih bekerja dengan baik bukan? Bukan kah pria itu memanggil Ayah-ku dengan sebutan Ayah? Augh.

Denyut kepalaku kian mengaburkan penglihatanku. Hingga kelopak manik ku berkedip secara berulang, sekedar meyakinkan diri jika mimpi buruk sebagai pengawalan hari; tidaklah benar. Maksudku; tentang seorang pria asing yang datang membawa kekacauan serta bualan, hingga Ayah yang memeluk hangat tatkala Jay van Damme menyapanya. Memangnya siapa pria tengik itu?

Bahkan semua kekonyolan yang mengawali pagiku, tak berhenti sampai di situ saja. Peningku yang kian bercampur rasa mual, tatkala Jay turut menambah bualannya seraya memasang raut lugu sebelum berujar, "Maafkan saya, karena begitu lancang menyentuh putri anda. Juga semuanya, terjadi begitu saja tanpa kami sadari. Saya menyesali tindakan kelewat batas ini. Maafkan kami Ayah."

Gila. Rasanya aku ingin tenggelam dalam lautan saja. Nyatanya raut polos yang dibuat-buat itu mampu meyakinkan dua orang paruh baya yang hanya mengangguk mengerti, lantas satu di antaranya menjawab, "Itu tak akan jadi masalah, jika kau benar-benar akan menepati pernyataanmu mengenai pertanggungjawaban itu."

Manik ku membola. Hampir menyentak meja dalam satu gebrakan; sebagai pelampiasan amarahku yang kian memuncak. Namun sisa kewarasanku tentu menghentikan kegilaan yang hanya berhenti sampai anganku saja.

"Ayah? Semua yang dikatakan Jay itu tak benar. Kami sungguh tak melakukan apa-apa!" Pungkasku, kembali meyakinkan.

Wajahku menoleh, tatkala sebuah genggaman telah tersemat disela lima jemariku. Kukira tautan kelima jemari itu ku dapati dari Ibu, nyatanya tidak. Karena hal itu ku dapatkan dari seorang Jay van Damme, si pria setengah sinting yang kembali berujar lirih; namun masih dapat didengar oleh dua orang di hadapanku, "Aku khawatir sayang. Bukankah kau bilang jika minggu ini adalah masa suburmu? Lagipula aku lupa mengenakan pengaman. Jadi bagaimana jika?" irisku melebar, tatkala kalimatnya terjeda dengan sengaja. Sontak membuatku hendak melayangkan sebuah tamparan telak pada sang pembual.

Oh, apa ia tengah mengalami sebuah delusi?

Raut bengisku nyatanya terkalahkan oleh sorot tajam Jay yang kian memenjarakan tatapku dalam satu detik; ketika manik kami saling beradu. Bibirku hampir saja melontarkan umpatan paling kasar, sebelum sebuah suara berhasil menginterupsi. Membuatku kembali menelan pil pahit akan kehidupan untuk kesekian kalinya.

"Jangan membuat kami mencoret namamu dalam daftar nama keluarga Nona Spencer. Kalian, menikahlah secepatnya! Jangan sampai benih Jay, menjadi janin dalam waktu dekat. Terlebih tanpa adanya sebuah ikatan pernikahan." tutur Ayah, sebelum benar-benar beranjak; meninggalkan ruang tengah serta coffee-nya yang tak lagi menampilkan kepulan asapnya. Sekonyong-konyong, langkahku lekas mensejajari Ayah yang mulai berjalan kearah pintu utama; berusaha memberikan argumenku, yang nyatanya benar-benar tak berarti apapun.

Ayah sungguh tak memperdulikanku, untuk kali ini. Bahkan Ibu turut mengekori Ayah, meski sempat berujar sekilas, seraya merengkuh tubuhku singkat, "Lakukan saja sayang. Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah pada Ibu ya? Kita akan bicarakan lagi nanti." terangnya sebelum kembali menampilkan punggung itu, untuk berjalan menjauh; menyisakanku yang mencelos tak percaya.

Kedua tapakku lekas menelungkup; berusaha menyembunyikan wajahku. Hingga sepersekon, dapat kurasakan sebuah regkuhan ringan yang perlahan kian berubah sedikit posesif; bersama aroma maskulin yang membuatku memejam, geram.

"Hey!" pekikku, tepat didetik yang sama ketika Jay menelusupkan tapak kanannya dibalik kimono yang kukenakan; lantan mengusap perutku secara berulang.

"Jangan bergerak Vivian. Bisa-bisa tanganku ini, menyentuh sesuatu yang lain di dalam sana. Lagipula aku hanya ingin menyapa rahim dari calon anakku nanti. Oh, atau? Kau terangsang, hm? Wah hebat." cecarnya asal. Membuatku berdecih, lekas memalingkan wajahku kesisi kiri; sekedar mengumpatinya. Sialnya keputusan itu tak cukup tepat, tatkala kecupan ringan secara berulang kembali diberikan pria itu tanpa izin. Lantas mengujar, "Malam ini aku akan kembali datang, bersama kedua orangtuaku."

Oh andai negara ini tak memiliki sebuah hukum yang ketat, percayalah; aku telah bersiap untuk menikam si brengsek tampan yang kini menyunggingkan tawa miring paling menyebalkan, di hadapanku. Rona merahnya yang terlihat samar, bahkan cukup membuat otak sintingku mengulas lengkung tipis pada garis bibirku dengan sendirinya.

"Astaga, calon istriku cantik sekali jika tersenyum seperti itu. Membuatku gemas saja. Sayangnya aku harus menahan hasrat untuk tak menyentuh terlebih dulu." titahnya, seraya menangkup dua pipiku, dengan gemas. Sepersekian detik, airmuka si brengsek tampan itu meredup bersama jemarinya yang menyelipkan anakan suraiku, begitu perlahan.

Satu sudut bibirnya tertarik. Menciptakan seulas senyum tipis sebelum berujar, "Aku berjanji; akan menjagamu, gadis cengeng."~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tangled Thread Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang