Trap

7 3 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Pukul enam pagi; di hari ke Tujuh Puluh Empat

*****

Sebuah pena bertinta merah yang terselip pada dua jemariku, kian menari; membentuk garis silang sempurna pada lembar kalender yang kuletakkan di atas nakas. Manakala pekatnya malam telah berganti oleh singsingan fajar dan panjatan doa lekas terapal selepas netraku terjaga; biasanya, segera kuraih pena itu; untuk melingkari angka pada kalender dengan harapan hari yang terlewati kali ini, akan berjalan lebih baik lagi dibanding hari sebelumnya.

.

Pada hari ke Tujuh Puluh Empat saat ini, ada makna ganda yang terselip dibalik panjatan doaku pagi ini. Aku yang secara tak langsung, telah menghitung mundur akan datangnya hari keseratus lima puluh yang telah disebutkan oleh pria sinting pengirim buket bunga hortensia itu.

Sungguh tak habis pikir, ketika aku kembali menelaah kedatangan pria asing yang secara tiba-tiba muncul bersama ancamannya untuk menikahiku. Bahkan aku tak membutuhkan kafein untuk membantu netraku agar tetap terjaga. Cukup pikirkan hal konyol, tentang bagaimana lancangnya Jay Eric van Damme yang muncul secara tiba-tiba , sudah membuatku tak sempat menyambangi alam mimpi.

Lalu tatkala sudut mataku mulai melirik pada sisi arloji yang menampilkan jarum yang menunjukkan pukul enam lebih lima menit, mendadak aku dibuat penasaran akan pria misterius itu.

Apa pagi ini, ia akan kembali mengirimkan satu buket hortensia untukku lagi?

Pun tungkai telanjangku lekas menapaki lantai marmer yang dinginnya bukan main. Lantas mengambil langkah santai untuk meraih knop pintu, hingga menciptakan suara derit dari kokohnya kayu berwarna merah tua yang tengah kudorong perlahan.

Tanpa niat membasuh air pada muka lusuhku terlebih dahulu, pergerakanku pun lekas meraih katel; untuk mendidihkan airnya. Percayalah, satu cangkir coffee di pagi hari, akan berhasil menaikkan mood mu hingga seharian. Seperti itulah, yang kakakku tuturkan.

Manakala irisku mengedar sekedar mencari presensi Ibu yang pagi ini tak kutemui, seketika aku disuguhi dengan selembar kertas kecil yang menyimpan tulisan latin di atasnya. Serta merta membuatku mendecakkan lidah, hingga bergumam, "Bisa-bisanya mereka pergi tanpa memberitahuku terlebih dahulu."

Hingga tubuhku hendak bergerak cekatan guna meraih beberapa perlengkapan untuk meracik coffee, mendadak aku dibuat berpikir sejenak; tatkala kudapati sebuah bel pintu terdengar menginterupsi.

Siapa pula orang yang bertamu dipagi-pagi buta, seperti ini?

Bersama dengan langkah terseret, aku yang lekas mendorong daun pintu utamapun—sontak dikejutkan oleh pria yang menyapa, "Selamat pagi, my lady." Tak menghiraukan, juga hanya kujawab desisan sebal—serta merta hendak kembali menutup daun pintu, pun niatan tersebut berhasil tertahan oleh selipan satu pria yang mengimbuh, "Seperti biasa, aku kemari untuk membawakanmu buket hortensia, sayang."

Tangled Thread Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang