08• Berbeda

90 10 14
                                    

"Kamu menjauh? Apa hanya perasaanku saja? Ataukah memang kenyataannya?"—Dara Narenda.

Motor Kevin melaju membelah jalanan ibu kota. Bersama Dara yang setia melingkarkan tangannya di perut Kevin.

Masih pukul 06.00, keduanya sudah berada disebuah gubug kayu reot dibawah pohon besar dekat taman yang sering mereka datangi.

Kevin menstandarkan motornya, sedangkan Dara sudah lebih turun dan mencopot helmnya. Mereka berjalan memasuki rumah itu, menenteng dua kantung kresek berwarna hitam.

"Ibu, ada Kak Ara sama Kak Kevin!" sambil berlari menghampiri Dara dan Kevin seorang gadis kecil berseragam merah putih itu berseru. Tak lama seorang wanita paruh baya keluar dari pintu dapur.

"Eh, ada kalian," ujar wanita itu.

"Iya, Bu Arni. Ara sama Kak Kevin bawa sarapan." Dara mencium punggung tangan Bu Arni, diikuti dengan Kevin.

"Maaf ya, merepotkan kalian. Mangga calik heula, Ibu bade nyandak piring!" sebuah senyuman mengakhiri kalimat Bu Arni.

"Za, tebak coba, Kak Ara bawa apa?!" dengan menangkat sebuah plastik hitam Dara memainkan alisnya menatap Refza Amalia, gadis mungil berseragam SD di depannya.

Eza mengetuk-ngetukkan telunjuknya didagu, pura-pura berpikir keras. "Gak tau, Kak. Kalau novel gak mungkin deh, soalnya plastiknya gede."

Dara membuka plastik tersebut, menampakkan sebuah tas sekolah berwarna pink yang membuat mata Eza berbinar.

"Nih, buat Eza. Tas yang lama Kak Ara lihat udah putus talinya," sambil berucap Dara menyodorkan tas tersebut dan langsung diterima oleh Eza.

"Eza, ngucapkeun hatur nuhun," sahut Bu Arni yang berjalan menuju kursi dimana ketiganya duduk.

"Makasih Kak Ara, Kak Kevin. Eza seneng banget bisa punya tas ini," seru Eza. Bu Arni yang melihat pun hanya tersenyum haru.

"Hatur nuhun pisan, Ibu sampai bingung mau balas kebaikan kalian dengan cara apa," ungkap Bu Arni dengan logat Sunda nya.

"Justru kita yang bingung harus balas kebaikan Ibu bagaimana lagi. Berkat Ibu, nyawa adik saya terselamatkan," ucap Kevin.

"Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong antar sesama."

"Kak Ara sama Kak Kevin mau makan gak?" tanya Eza.

"Eza sama Ibu aja, Kak Ara sama Kak Kevin udah sarapan di rumah."

Dara tersenyum memandang Eza yang dengan lahapnya menyantap nasi goreng buatan Bi Asri. Ia harusnya bersyukur masih bisa makan, memiliki fasilitas yang bisa dibilang cukup, bahkan rumah mewah dan segala sesuatu yang bisa ia beli kapanpun ia mau.

Ternyata masih banyak orang yang hidupnya jauh lebih menderita darinya. Seperti keluarga Bu Arni, beliau membesarkan Eza sendirian. Suaminya meninggal sehari sebelum Eza lahir. Menjadi tulang punggung keluarga, menjadi Ibu sekaligus Ayah bagi anaknya.

Dara memandang setiap sudut tempat tinggal Bu Arni. Sempit, bahkan bisa dibilang lebih mirip gubuk dibandingkan rumah. Tapi, kasih sayang dan cinta selalu hadir di sini. Bersama kesederhanaan yang Dara dan Kevin turut merasakan.

Keduanya sering mengunjungi tempat ini, sekedar main ataupun membawakan sedikit makanan.

Karena Bu Arni pula Dara masih bisa seperti sekarang. Bernafas, melihat dunia, merasakan sakitnya tidak mendapat kasih sayang dari keluarga.

* * *

Aksa meletakkan tas yang sedari tadi bertengger di punggungnya kasar. Membuat Gandi dan Dimas sontak terlonjak kaget. Sedangkan Arsen masih tetap diam pada posisinya. Tidak terusik sama sekali.

Aksa Dara [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang