10• Comberan

69 4 1
                                    

"Setidaknya untuk saat ini aku masih bisa memendam semuanya. Entah sampai kapan hati dan raga ini kuat merasakannya."— Dara Narendra.

Sinar matahari perlahan menerawang, masuk dalam celah gorden kamar dengan nuansa pink itu. Dara mengucek matanya berkali-kali. Menunggu nyawanya terkumpul sempurna.

Gadis itu memaksakan badannya untuk duduk, mengecek jam pada ponselnya. Matanya membulat sempurna melihat angka digital yang menunjukkan pukul 06.30

"Bibiiii, kenapa gak bangunin Dara! Kak Kevin juga gak bangunin Dara! Huaaaa!"

Dengan satu kali hentakan, Dara membuang kasar selimut yang membungkus tubuhnya. Terbirit masuk ke kamar mandi.

Selang sepuluh detik, teriakan kembali terdengar dari dalam kamar mandi.

"Bibiiiii, Dara lupa gak bawa handuk! Tolong ambilin!"

Langkah seorang wanita yang akan menuruni tangga menuju lantai dasar terhenti ketika mendengar teriakan yang berasal dari kamar putrinya.

Sinta lantas berbalik, berjalan menuju kamar Dara.

"Siapapun yang denger, tolong ambilin handuk di lemari!" teriak Dara sambil menggedor-gedor pintu kamar mandinya.

Dara harap-harap cemas, tak lama pintu tersebut diketuk. Dengan membuka sedikit, sebuah kimono berwarna pink menyembul. Dara menarik handuk tersebut tanpa tau jika mamanya lah yang mengambilkannya.

Tak lama, Dara keluar dengan seragam identitas SMA Permata. Menyisir rambutnya yang sedikit basah.

Ia berjalan keluar, menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Senyumnya mengembang kala melihat sepasang suami istri tengah duduk di meja makan juga tersenyum padanya.

Dara berlari, menghamburkan dirinya memeluk Sinta, ibunya.

"Dara kangen sama Mama, kangen banget," ucap Dara mempererat pelukannya. Mata Sinta mulai berkaca-kaca.

Rama berdehem, "Papa gak dipeluk nih? Gak kangen juga?"

Dara melerai, beralih memeluk Rama yang dibalas lelaki itu tak kalah erat.

"Dara juga kangen banget sama Papa."

"Iya, Papa juga kangen sama Dara."

"Kok, kalian baru pulang. Sibuk banget ya?"

Pertanyaan Dara membuat air mata Sinta yang sempat menggenang, kini tak tertahan. Lolos begitu saja.

"Maafin Mama, ya. Mama tau Dara pasti kesepian di rumah ini."

"Maafin Papa juga, Sayang. Papa terlalu sibuk."

"Gak papa, Dara tau Mama sama Papa kerja demi Dara juga. Sampai-sampai gak memperhatikan kesehatan kalian. Wajah Mama pucat banget, Papa juga agak kurusan. Maafin Dara ya, udah ngerepotin kalian. Kalau capek istirahat dulu. Dara gak mau orang tua Dara sakit."

Sinta tercengang, kembali memeluk putrinya. Sedangkan Rama mengulas senyum haru.

"Kak Kevin mana?" tanya Dara.

"Dia udah berangkat dari tadi. Katanya ada piket," jawab Sinta.

"Truss Dara gimana dong? Bareng siapa?"

"Sama Papa, soalnya Pak supir lagi pulang kampung. Istrinya mau lahiran."

"Hmm, beneran Papa mau anterin Dara?"

"Iya, ya udah yuk. Nanti telat."

"Non, bangun. Udah jam 6, nanti telat sekolahnya." Sebuah suara lembut memaksa menghentikan mimpi indah Dara.

Aksa Dara [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang