Bab 2 - Hanya Khayal

54 5 0
                                    


Kini mentari telah berganti rembulan. Jam dinding di ruang tamu telah menunjukan pukul sembilan malam. Aku duduk di samping bapak dan ibuku. Sedari tadi, aku menundukkan kepalaku karena maluku saat ini sangatlah berlebihan.
“Pripun, Nduk?“  bapak memperjelas kembali pertanyaan Malik kemarin padaku.
Iyas manut mawon kalih Bapak, kalo Bapak setuju ya Iyas setuju, kalo Bapak nggak ya Iyas ngikut aja,“ aku menjawab dengan kalimat seperti itu karena aku bingung dan malu harus menjawabnya..
Yo wes nek ngono, Bapak setuju mawon. Kalo Malik juga serius besok kamu bisa bawa orangtuamu ke sini buat nentuin tanggal pernikahannya.“
Mendengar jawaban bapak aku merasa lega.
Akhirnya, Malik dan temannya berpamitan setelah dua jam bertamu di rumahku.
“Ya sudah, Pak, kulo pamit wangsul riyen. Insyaa Allah ngenjang kulo lan bapak ibu kulo mertamu teng ngriki. Matursuwun nggih, Pak,“ pamitnya dengan suara tegas namun enak untuk didengar.
“Nggih sami – sami, Nang. Sing ngati – ati yo. Moga – moga slamet.“
“Assalamu’alaikum,“ ucapnya sembari mencium tangan bapak. Hanya gara – gara cara salim dan berjalannya saja, aku bisa melihat kesopanannya.
“Wa’alaikumussalam.“
Aku berdiri di samping kedua orangtuaku. Dia juga berpamitan denganku. Tetapi hanya berkata,”Kulo wangsul riyen, nggih.“ Kemudian langsung bergegas menaiki motornya bersama Zayn. Ku pandangi mereka yang semakin menjauh dan mengecil. Kemudian menghilang tanpa bekas.
Setelah mereka benar – benar menghilang, bapak kemudian merangkulku dan menasehatiku.
Nduk, kamu nggak boleh menyesal dengan keputusan yang sudah diambil tadi. Kamu harus mampu menerimanya. Karena Bapak tahu tentang Malik, ya walaupun nggak banyak. Dia anak baik – baik. Insyaa Allah, Bapak percaya kalau kamu pasti bahagia bersama dia.”
Nggih, Pak. Insyaa Allah Iyas terima keputusan itu,“  ucapku meyakinkan bapak.

***

Matahari kini telah menempatkan dirinya di tempat biasanya dia berada di pagi hari. Masyarakat kini berbondong – bondong pergi ke sawah untuk menggarap ladang mereka.
Sedari tadi aku duduk di teras rumah. Aku sudah berada di sini sejak jam lima pagi. Aku menuliskan banyak isi hatiku di diaryku. Termasuk mengenai kebahagiaanku karena aku telah dikhitbah. Selain menuliskannya di buku, aku juga mencurahkan isi hatiku pada sahabatku. Zara adalah namanya. Aku menceritakan bahwa aku telah dikhitbah oleh Malik, seorang aktivis di organisasi Anshor di kecamatan.

Zara
Loh, beneran? Kok bisa sih? Perasaan dia gk pernah kenal kamu dehh!!
Sumpah!! Ini bakal jd berita terhot di IPPNU, Yas. Dan aku berani jamin, kalo kamu bakal jd cewek paling beruntung dan paling bahagia 😊

Me
Ah, benarkah? Aamiin lah. Semoga saja ini adalah keputusan terbaik

Zara
Aamiin, tp kamu hrs hati2, Yas. Takutnya, ntar kamu di julidin sm cewek2!“

Me
Iya, iya, santai aja kali :v

Percakapan itu kami lakukan melalui WhatsApp. Lega rasanya sudah bercerita.
Setelah jam dindingku menunjukan pukul 7 tepat, aku langsung berpamitan kepada ibu. Aku akan pergi ke pasar guna membeli bahan – bahan makanan yang akan jadi santapan kami nanti malam bersama Malik dan keluarganya.

***

Kini, matahari telah hilang bersembunyi di balik bumi. Dinginnya malam mulai menusuk tubuhku yang kini tengah berbaring di tempat tidur. Jam tanganku telah menunjukan pukul 20.30 menandakan bahwa 30 menit ke depan aku harus keluar untuk menemui Malik dan kedua orangtuanya.
“Oh ya, Iyas lupa!“ tiba – tiba aku terbangun karena mengingat akan suatu hal.
“Minumnya belum aku buat.“
Segera mungkin aku langsung menuju dapur untuk membuat minum. Di sana sudah ada ibu yang juga sedang menyiapkan segala hal.
“Bu, minumnya belum Iyas buat,“ ucap ku.
“Ya sudah, buat sekarang. Ibu mau naruh ini di depan.“
Lima belas menit kemudian es teh dan teh anget telah selesai kubuat. Kini aku duduk sendiri di ruang makan. Aku memikirkan apakah aku ini pantas untuk menjadi istri dari seorang yang sholeh seperti Malik, sedangkan aku sendiri masih seperti ini. Penuh dengan kekurangan. Di tengah lamunanku itu, ku lihat samar – samar seseorang berjalan mendekat. Itu adalah ibuku.
Nduk, ayo ke depan! Malik sama orangtuanya sudah datang,“ titah ibu padaku.
“Iya, Bu.“
Aku berjalan menuju ruang tamu sembari membawa teh yang tadi kubuat. Pikiranku masih memikirkan tentang keputusan ini.
“Sudahlah, Yas. Kamu harus percaya jika ini adalah yang terbaik,“ aku mencoba menghibur diriku sendiri.
Aku berjalan cukup cepat. khawatir jika mereka telah lama menunggu. Kemudian aku duduk di samping ibu. Sedangkan Malik dan orangtuanya duduk berhadapan dengan kami. Rasanya malu sekali berhadapan dengan mereka yang kelihatannya orang terpandang. Aku takut jika kedua orangtua Malik tidak mampu menyetujui keputusan kami setelah melihat rupaku.
Satu jam pun telah berlalu, kini di rumah hanya tinggal aku dan kedua orangtuaku. Malik sudah berpamitan sekitar tiga menit yang lalu. Sekarang hatiku semakin lega, karena akhirnya kekhawatiranku tak menjadi kenyataan, kedua orangtua Malik telah menyetujui keputusan yang telah kami buat. Bahkan ternyata, mereka telah mengetahui rencana Malik mengkhitbahku sejak ia mantap memutuskannya yaitu sebelum mengatakannya pada bapakku.
Malam ini benar – benar diputuskan tentang rencana pernikahanku dan Malik. Mimpiku itu benar – benar akan terwujud pada bulan Juli di tanggal 29 tahun ini. Jadwalku hari esok adalah bertemu dengan Malik dan pergi untuk mencari gaun pengantin dan kartu undangan. Alhamdulillah, masalah yang berkaitan dengan soundsystem, acara, dan akad nikah akan diurus bapakku bersama dengan bapaknya Malik.

***

Hari ini langit terlihat begitu cerah. Hanya beberapa awan saja yang menutupinya. Mataharipun bersinar dengan panasnya yang hangat. Angin yang bertiup saat ini tak begitu besar, tak juga kecil. Seakan – akan alam pun ikut serta dalam rasa bahagiaku hari ini. Yah, hari bahagia yang ku nanti sejak dulu terjadi saat ini. Tinggal menunggu menit saja akad nikah dilaksanakan.
Kini, wajahku telah dipoles dengan makeup oleh ibu perias. Namun tidak begitu mewah, karena aku sendiri bukan tipe perempuan yang betah dengan makeup tebal. Badanku kini telah terbalut dengan kebaya khas Jawa Tengah. Dan yang ku tahu, sekarang Malik sudah berada di rumahku. Ini adalah hari pertamaku akan melihatnya kembali setelah satu minggu kami dipingit.
Sekarang, hatiku begitu berdebar, khawatir bercampur bahagia. Akad akan segera dilakukan. Aku berada di kamar tidurku bersama dengan kedua adikku dan dua temanku. Sedangkan Malik tengah berhadapan dengan bapak penghulu dan bapakku sebagai wali nikah.
“Qobiltu Nikahaha....“
Kalimat itu terdengar lantang diucap Malik. Kalimat itulah yang sejak tadi kutunggu. Bahagia rasanya.
Setelah do’a selesai dilantunkan, aku dipanggil ibu untuk keluar dan menemui Malik yang kini telah menjadi suamiku. Ketika aku bertemu dengannya dan untuk pertama kali tanganku dipegang seorang laki – laki ajnabi, hatiku menjadi semakin berdebar. Lalu kuambil tangannnya dan kucium dengan penuh rasa kasih. Aku berdo’a saat itu pula mengenai harapanku kedepan. Tak ku sangka, tangan Malik menarik kepalaku dengan lembut. Malik lalu memegang ubun – ubunku dan mengucapkan sebuah do’a. Aku hanya bisa mengamininya. Selesai doa, Malik kemudian mengecup keningku. Bahagia rasanya.
“Kau tahu, inilah mimpi terbesarku. Dulu, kejadian ini pernah kutulis dalam buku mimpiku. Aku berharap setelah ini banyak pula mimpiku yang terkabul.“
Aku tersenyum, saat Malik mengamini mimpiku itu.
“Ekhemmmm.... Cieee.. Cieee..“ tiba – tiba sebuah suara yang sangat keras terdengar oleh telingaku. Sakit rasanya.
“Iyasss,,, kamu ngapain di sini? Udah berapa lama coba kamu ngekhayal dan senyum – senyum sendiri kaya orang gila tau!“
Hhhhhhhhh,,,,
Tiba – tiba khayalanku yang berisi kilas balik masa boyongku setelah MA yang ditambah angan mengenai perjodohan yang dilakukan bapak juga ibu buyar. Hilang semua hanya karena suara Keyra yang begitu keras.
“Keyyyy,, kamu ngapain sih teriak – teriak! Ya Allah, tau nggak sih, khayalan aku tuh jadi ilang gara – gara itu. Ah, kamu mah, nggak asik!“
“Ya biarin atuh. Lagian lagi ngekhayalin apaan sih? Pasti masalah nikah? Uh, dasar Iyas!“
“Kalo iya emang kenapa? Gak boleh?“
“Ya boleh – boleh aja sih, cuma nggak enak aja dilihatnya.“
“Ya udah sih, biarin. Sekarang aku mau cerita tentang khayalan aku tadi.“
“Ya elah, khayalan aja diceritain. Ayo cepetan!“
“Iya, iya. Tadi itu ya, aku tuh ngekhayal kalo mimpi – mimpi aku tuh jadi kenyataan semuanya coba. Bayangin aku nikah sama ustadz, sama aktvis islam, udah dia sholih ganteng lagi, dia juga pinter,“ aku mencoba menceritakan khayalanku tadi pada Key. Namun, tak bertahan lama. Karena, tiba – tiba Key memotong perkataaanku.
“Udah ah Yas, males. Takut aku. Liat tuh, mba – mba pengurus ngeliatin kita. Ayo GC ah, biar cepet selesai. Ini udah mundur tiga puluh menit dari target loh.“



Jan lupa vote yaa👌

Labuhan Cinta GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang