Bab 10

49 5 0
                                    


Obrolan kami hanya sebatas itu, setelahnya benar benar hening. Kami menikmati dunia kami sendiri. Aku dengan koran, dan Iyas dengan camilan. Namun, secara tiba - tiba kepala Iyas sudah menjembul tepat di depan dadaku. Dan saat ku lihat, dia sudah duduk tepat di sampingku. Tanpa ada spasi sedikitpun.

"Ya Allah, baca apaan sih mas dari tadi. Sampai ngacangin istri!" decaknya sedikit kesal sembari merebut koran yang ku baca. Terlihat jelas dari matanya, jika ia tengah meneliti dan membaca berita yang tadi juga ku baca.

"Ealahhh,, berita ini toh," ucapnya sembari menganggukkan kepala.

"WHHAATTT..." pekikan keras dari mulut Iyas membuat kopi yang tengah kusruput langsung menyembur keluar membasahi celana training yang kupakai.

"Astaghfirullah," lirihku sedikit geram sembari membersihkan noda dengan tisu.

"Aku baru tau, kalo konsep ibukota barunya bakal kaya gini."

"Kenapa? Kaget ya? Itu sudah dibahas lama."

"Kalau gini aku sih setuju. Kelebihannya banyak banget," jelasnya sembari memandang takjub rentetan tulisan di halaman 7 tersebut.

"Konsepnya emang bakal dijuruskan ke ranah listrik. Apalagi di bagian teknologi, nantinya tidak akan ada lagi yang namanya bahan bakar fosil. Bagus sih, cuma letaknya aja yang sedikit mengkhawatirkan. Taulah, di sanakan rawan amblesan tanah," ujarku secara gamblang.

"Tapi kan pastinya perancang bangunannya milih tempat baik, mereka pasti bakal menyesuaikan konstruksi sama kondisi daerah," timpal Iyas.

"Yaaa.. Kalau pemerintah bisa benar - benar dapat pemborong bagus. Kalau engga?"

Tidak mau kalah dengan pendapatku, Iyas berargumen lagi, "Pastilah pemerintah nyari pemborong top, kan ini pembangunan ibukota. Ya kali pakai yang abal - abal. Haha.."

Obrolan berat pagi ini berakhir begitu saja setelah alarm handphoneku berdering keras dari dalam kamar. Tanpa basa basi, langsung saja ku angkat tubuhku lalu melesat masuk kamar dan mengganti pakaian casualku dengan kemeja berwarna peach serta celana bahan warna hitam. Kemudian membereskan berkas kerja, modul mengajar, juga laptopku dalam satu tas jinjing. Rencananya, aku akan pergi ngampus satu jam, lalu mengajar sebagai asdos dan setelahnya bekerja.

Kalian tahu, sebenarnya aku sedikit kesal karena Iyas tak kunjung memasuki kamar untuk membantuku bersiap. Apa dia tidak tahu, atau bagaimana?

***

AUTHOR POV

Sebenarnya sejak tadi, Iyas tak beranjak dari tempatnya. Ia masih setia meneliti setiap artikel dan berita yang berjajar di koran lokal itu. Tidak ada sedikit niatpun untuk membantu suaminya.

Perihal bersiap - siap untuk pergi ke kampus, Iyas sudah melakukannya di pondok tadi pagi. Buku - bukunya sudah tertata rapih di tas. Mungkin hanya perlu memoles sedikit wajahnya saja dengan bedak tabur.

Ketika Malik keluar kamar, Iyas sudah bersiap di depan pintu utama. Iyas sudah bersiap untuk berangkat bersama Malik. Namun tak disangka, Malik malah melewatinya dengan santai.

"Loh, kok ditinggalin sih Mas!!?" Iyas berteriak sambil berjalan cepat mengimbangi Malik.

"Lah, emang kenapa?" Malik mengatakannya setelah berhenti secara mendadak yang membuat Iyas hampir saja menabrak tiang jemuran milik tetangga.

"Kita kan bisa berangkat bareng! Tujuan kita sama," Iyas berpindah tempat menjadi menatap Malik. Sedangkan yang ditatap malah berdiri tanpa ekspresi lalu membenarkan letak cangklongan tas di lengannya.

"Emang ngga boleh ya kita jalan barengan?" Mendengar pertanyaan Iyas, Malik tidak menanggapi. Ia malah melenggang pergi lagi.

"Eh, tungguin!!" teriakan Iyas memecah keheningan jalan yang mereka lewati. Tidak hanya satu dua orang saja yang memerhatikan mereka, tapi lebih dari itu. Mungkin mereka akan menyangka jika dua orang ini adalah sepasang kekasih yang tengah bertengkar. Padahal hanya drama pagi biasa.

Iyas berjalan setengah berlari, kemudian reflek menarik kemeja Malik.

"Please, jangan ikutin saya terus!" pinta Malik dengan oktaf yang naik sedikit, lalu melanjutkan perjalanannya.

"Oke, oke! Tapi kasih Iyas alasan dulu. Masa ngga ada alasan sama sekali, kan ngga ilmiah."

"Iyas, kalau saya bilang jangan ya jangan." Kini Malik yang menatap Iyas, wajahnya masih tetap datar namun sedikit terlihat kerutan di dahinya. Sedangkan yang disuruh malah tidak menghiraukan, Iyas terus saja berjalan beriringan bersama Malik.

"Kamu tahu sendiri kan kalau perintah suami itu harus dipatuhi?"

"Loh, sejak kapan Anda berani menyebut diri Anda suami. Ciee sudah mengakui.." ledek Iyas pada suaminya sambil menggerak - gerakkan telunjuknya di udara.

"Jangan bercanda Iyas! Saya tidak suka!" gertak Malik.

Iyas berdecah kesal lalu bergumam kecil, "Dihh, gimana mau dekat kalau ucapan kaya gitu aja ngga boleh."

"Sudah, Yas. Turuti saja perintah saya. Memangnya kamu mau dapat dosa?"
Melihat Iyas masih melanjutkan langkahnya, Malik menjadi semakin geram.

"Kenapa harus dosa? Kan yang Mas perintahkan tidak jelas kebaikannya. Malah kelihatan buruknya."

"Itu tidak buruk Iyas, yang saya katakan itu baik."

"Loh, kok Mas Malik tau kalau hal itu baik?"

"Ya emang baik untuk dilihat, nanti kalau dilaksanakan takutnya menimbulkan argumen tidak baik dari sekitar," jelas Malik tanpa menoleh sedikitpun ke arah Iyas.

"Tapi kan yang Mas Malik bilang baik belum tentu baik juga di Iyas. Lagian kenapa sih harus dengerin tetangga. Apa benefitnya coba?"

"Saya kan suami kamu, jadi saya tahu mana yang baik buat kamu."

"Loh, Mas Malik ini nggayane minta ampun. Kaya Tuhan aja. Kan Cuma Allah, Mas yang tahu mana yang baik buat kita dan sebaliknya."

Argumen serta sanggahan dari Iyas tidak lagi ditanggapi oleh Malik. Keduanya diam sambil berjalan beriringan. Mungkin sama - sama malas dan capek untuk saling meladeni. Iyas juga Malik sama - sama sadar jika lawan masing - masing memiliki idealisme juga kecerdasan yang sangat tinggi, jadi susah dikalahkan.

Tak sampai dua menit dari waktu diam keduanya, sepasang suami istri tersebut sudah menginjakkan kaki di area kampus UNDIP.

Malik bergegas pergi menuju fakultasnya, namun berhasil dicegat oleh panggilan Iyas.

"Mas Malik.." panggil Iyas sembari berjalan mendekati Malik lalu berdiri tepat di depannya. Malik tidak menjawab panggilan itu, Ia hanya diam di tempat.

"Style nya jangan yang gini, ngga bagus dan ngga pantes buat tipe muka, Mas," Malik dibuat speechless dengan tindakan Iyas. Bagaimana tidak? Iyas membenarkan model rambut Malik dengan tangannya sendiri di tempat umum seperti ini.

Sebenarnya Malik ingin sekali menolak dan menegur, tapi ya mau bagaimana lagi, lidahnya tidak mau berkompromi walaupun hanya sekedar diajak bergerak.

"Nah gini kan bagus!" Iyas mengacungkan kedua ibu jarinya. Sedangkan Malik, Ia reflek mengucap rambut.

"Eh, ngga cuma dua, tapi empat. Nih, ibu jari kaki aku juga ikutan," ucap Iyas sembari menggerakkan jempol kakinya yang terbalut kaus kaki babyblue.

Malik hanya diam tak menggubris perilaku Iyas. Ia hanya masih dongkol saja karena harus menahan malu karena kelakuan istrinya. Bisa - bisa dibilang tidak tahu tempat kalau begini.

Wah, Si Babang Cool masih aja datar padahal udah berusaha dibaperin sama istrinya. Mana pake dongkol segala lagi. Maklum lah ya, ngga biasa malu, jadi begini nih. Tebak nih, kira kira dan menurut kalian Si Babang Cool udah meleleh belom sama kelakuan Iyas?

Jan lupa follow, vote, and coment!👌

Labuhan Cinta GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang