1

8K 299 1
                                    

🌼Jangan lupa vote dan komen, yaa:D


"Sekiranya Nak Raline berkenan menerima pinangan kami. Ini demi kebaikan keluarga kita terutama Anna.", dengan raut serius Tante Ilma mengatakannya.

Tapi gimana dengan kuliahku? Aku masih sibuk dengan kegiatan himpunan di kampus. Aku tau Anna, balita yang baru berusia 3 tahun itu membutuhkan ibu. Tapi apa harus aku? Apa almarhumah Mbak Rasya rela suaminya menjadi suamiku?

"Lin...", tegur ibu membuyarkan pikiranku yang kacau balau. Mengkodeku untuk segera menjawab. "Tolong kasih Raline waktu 1 bulan untuk berfikir, tante.", mau kujawab apa, tentu aku tidak langsung menyetujuinya kan. Ini terlalu mendadak bagiku. Gila! Bahkan sekarang rambut dibalik kerudungku masih basah bekas keramas habis pulang dari rakor tadi.

Kulihat orangtua Mas Putra saling bersitatap. "Apa tidak terlalu lama? Bagaimana kalau seminggu saja? Sebaiknya niat baik disegerakan, nak.", ujar Om Rahmat. Kurasa mataku memanas, aku merasa terpojokkan dalam situasi ini. Somebody, help me!

"Saya setuju dengan Raline, pa. Biarkan sebulan ini kami saling mengenal lebih dari sekedar ipar. Raline mungkin masih bingung dengan situasi ini. Biarkan dia berfikir dulu dengan matang.", Mas Putra bener banget. Selama ini kami masih asing untuk sekedar hubungan ipar. Mbak Rasya menikah tanpa pacaran terhitung tiga minggu setelah bertemu mereka memutuskan untuk menikah.

"Baiklah kalau begitu. Om tidak memaksa, Nak Raline. Apabila dalam sebulan kedepan kamu tidak bersedia, segera sampaikan kepada kami. Besar harapan kami dengan pernikahan ini apabila terjadi menjadi tali pengikat untuk keluarga kita." Hufft, lega rasanya.

"Terimakasih pengertiannya Mas Rahmat. InsyaaAllah sebulan lagi ada jawaban.", ujar bapak sambil menggenggam tangan kananku.

Setelahnya keluarga Mas Putra berpamitan pulang tanpa membawa Anna karena malam ini dia tidur di rumah. Sambil memasang senyum aku salim ke Tante Ilma dan Om Rahmat. Kaku rasanya badanku saat Mas Putra akan lewat di depanku. "Saya pulang dulu, Lin. Assalamu'alaikum.", katanya dengan tenang sedang aku gugup tak karuan kemudian kujawab salamnya.

______________________

"Lin, selasar yuk. Anak humas ngumpul di sana."
Denisa, sahabatku sejak maba. Ambil kelas yang sama, kawan sehimpunan, kawan UKM, kawan jalan-jalanku. Sosok yang periang dan keibuan. Aku serius, dia sangat keibuan. Beda denganku yang kadang terkesan grusa-grusu. Dan yang paling membuatku nyaman meski sifat kita berbeda tapi tetap sefrekuensi, nyaman kalau diajak ngobrol.

"Semalem ngapain kamu kok gaikut rapat online, Lin? Kena omelan Mas Radit, rata kau."

"Aku ketiduran, hehee. Capek rakor langsung tidur.", Ya Allah, maaf banget. Tapi masa aku bilang kalau semalam ada yang meminangku. Bisa heboh, apalagi kalau Denisa tau yang datang mantan kakak iparku.

"Yee, dasar kebo. Yaudah, yuk!" Denisa berjalan di depanku.

Setelah kumpul pembagian tugas mengejar tandatangan persetujuan acara, lanjut kelas. Lelah sekali rasanya. Semalam aku ketiduran karena menangis. Ibu ngasi wejangan banyak banget.

"Gak ada ruginya kamu nerima Putra. Dia baik, ibu dan kamu tau itu. Kalaupun kamu mau nikah sambil kuliah ibu yakin Putra juga ngizinin, lha wong dia ya dosen pasti paham dan mengerti. Lagian ibu juga bakal lega kalau yang ngemong Anna nanti anak ibu sendiri."
Beban overthinkingku semakin berat.

Pulang kuliah tak lupa aku mampir ke swalayan buat belikan Anna beberapa camilan. Bocil itu, dia suka olahan stroberi. Mataku membidik beberapa snack warna pink dan tak lupa buah stroberi itu sendiri. Aku juga butuh jus yang seger-seger.

Sesampainya di rumah setelah membayar ojol yang mengantarku, aku masuk ke pelataran rumah. Badanku langsung lemas melihat mobil siapa yang terparkir di depan rumah. Arghh...

"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam. Pulang naik apa Lin?"
"Ojol. Raline permisi ke belakang ya mas." Kutebak Mas Putra habis ngisi kelas dari tas ngajarnya yang bertengger di sofa ruang tamu.
"Anna, mau?"
Seruku sok ceria sambil mengalihkan kegugupanku. Kugiring Anna yang baru saja main sama bapaknya buat iku denganku ke dapur.

"Waw, makasih ya nte.", ucapnya sambil memeluk snack Sponge Strawberry dengan mata berbinar.
"Nanti Anna bobok sini lagi deh, terus nte beliin lagi ya?" Wooo nglunjak nih bocil. Untung sayang.

"Besok-besok lagi jangan dibiasain beli jajan gitu. Nanti giginya ompong. Buahnya aja banyakin.", ucap ibu sambil mengeluarkan belanjaanku.
"Kamu mau ngapain?"
"Buat jus, bu. Di luar panas banget." Memang panas banget belum lagi aku pulang jalanan macet pula. Kepalaku jadi pening.
"Buatin Mas Putra sekalian, Lin!", duh ibu ga bisa liat aku tenang dikit deh. Ga tau apa aku masih males ketemu Mas Putra.
"Nih, bu. Raline mau ke kamar." sambil nyodorin gelas isi jus.
"Loh ya anterin sana. Kerja kok setengah-setengah. Oh iya, bawa sekalian kue sagunya!" Ya Allah Ya Kareem.

Aku mengantar nampan berisi 2 jus stroberi dan sestoples kue sagu ke ruang tamu. Terpantau aman. Mas Putra kulihat lagi sibuk menggeser-geser layar ipadnya sambil memangku kepala Anna di pahanya. Tapi sepertinya semua orang tidak suka melihatku tenang. Jantungku langsung dugun-dugun. Dia menatapku yang sedang berjalan ke arahnya dengan mandat di tangan membuatku sedikit oleng.

"Diminum, mas." ujarku sambil meletakkan di meja. Sedangkan Anna langsung meminum jusnya. Seger banget lihatnya.
"Makasih, Lin. Hmmm, habis ini kamu mau ngapain?"
Mataku yang awalnya fokus ke Anna langsung menatap wajahnya.
"... hm, itu, anu. Aku..."
"Kalau kamu ga sibuk, saya mau ajak kamu keluar." Whattt??
"Ha? Kemana?" benar dong. Ke teras juga keluar rumah kan?
"Ke Peha (pembaca paham kan...). Kapan hari saya udah janjiin Anna makan keluar. Jadi, sekarang aja mumpung senggang." Lah, kan yang dijanjiin Anna ya. Kenapa aku jadi ikutan?

"Udah, angkut aja Put! Daripada di rumah goleran mulu."
"Ibu!" tolehku ke arah ibu sambil sedikit melotot.
"Orang diajaknya juga enak kok. Tinggal duduk, makan. Ya kan, Put?" ini kok kesannya ibu bela Mas Putra banget ya. Yang anaknya dia siapa sebenernya.
"Iya bu. Gimana, Lin?"
"Ya deh. Aku mandi dulu tapi." Mas Putra menanggapiku dengan mengangguk. Ya Allah amankan batinku. Yuk bisa bisa bisa!

RalineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang