Siapa?

27 9 10
                                    

Sebuah bangunan besar yang tidak asing kini ada dihadapan Rachel. Bangunan yang sudah dua tahun ia tinggalkan. Tanpa perlu mengetuk atau membunyikan bel terlebih dahulu, ia segera melangkahkan kakinya. Memasuki bangunan tersebut. Mulai menjelajahi satu persatu ruangan yang masih sama seperti dulu.

"Rachel. Kamu udah dateng sayang?" Sebuah sapaan hangat membuat gadis itu menghentikan aktivitas melihat-lihatnya.

Sebuah senyum simpul terbit di wajah Rachel. Menatap kearah Anita yang duduk di salah satu sofa di ruangan tersebut. "Rachel pulang ma."

"Duduk sini sayang."

Tanpa diperintah lagi, Rachel segera duduk di sebelah Anita. Meskipun Anita sering sekali menyebalkan, tapi Rachel tahu bahwa sikap menyebalkan itu sebenarnya untuk kebaikannya sendiri. Dan ia tak pernah membenci Anita sama sekali.

"Ma, boleh Rachel tanya?" Ucap Rachel sopan. Ya, gadis itu hanya mampu berbicara ketus kepada Anita jika sedang tidak bertatap muka.

"Boleh."

"Emang yang mau dijodohin sama Rachel itu dari keluarga siapa? Temen mama?"

"Iya, temen mama. Kamu bakalan di jodohin sama putra dari keluarga Widjaya."

<><><><>

Tanpa semangat, Rachel melangkahkan kaki memasuki kamarnya. Wajahnya tampak memancarkan aura kesengsaraan. Lesu. Kepala gadis itu serasa mau pecah jika mengingat kejadian di rumahnya.

Ya, Rachel memang sudah kembali ke apartemennya setelah makan malam dengan keluarga Widjaya. Dan sekarang badannya serasa tidak memiliki tenaga. Seakan rohnya telah meninggalkan raganya. Dengan sekali gerakan, ia menjatuhkan badannya di atas kasur.

"Aw!" Rachel meringis kecil. "Kok kasurnya keras sih?!"

Segera, ia mengubah posisi tidurannya menjadi duduk. Mata Rachel sempurna membulat. Dengan satu langkah lebar, ia mundur ke belakang hingga badannya menyentuh dinding.

"Aaa!" Gadis itu berteriak nyaring. Tatapannya terfokus kepada seseorang yang kini tergeletak di atas kasurnya.

Tok tok tok.

"Nona, apakah semua baik-baik saja?" Suara Ashley terdenger.

"Aku--" ucapan Rachel terputus, matanya menatap ke arah kasur lagi. Ragu. Haruskah ia mengadu?

"Nona?"

"Aku baik-baik saja. Jangan pedulikan. Kau bisa pergi."

"Baik."

Suara langkah kaki terdengar menjauhi kamar. Membuat Rachel menghela napas lega.

"Sekarang, apa yang harus aku lakukan?"

Dengan perlahan, Rachel berjalan mendekat ke kasur. Hendak melihat lebih dekat orang yang sedang berbaring di kasurnya itu. Tangannya terulur, mendorong pelan badan orang itu. Tidak ada pergerakan

Ngga gerak. Jangan-jangan ini orang udah mati lagi?

Tanpa sadar, Rachel sudah duduk di tepi kasur. Tangan kanannya mengecek denyut nadi orang itu. Memastikan.

Denyutnya ada kok. Berarti dia pingsan doang dong.

Hening. Bingung. Apa yang sekarang harus dilakukan. Ada orang asing berada di dalam kamarnya. Seharusnya, ia melaporkan kepada Ashley tadi. Tapi di relung hatinya, ada sesuatu yang mencegahnya untuk melakukan hal itu. Helaan napas kembali lolos dari mulut gadis itu. Matanya menatap ke arah orang itu. Entah mengapa orang itu terasa familiar. Seakan ia pernah melihatnya. Tapi dimana?

Ah, mungkin jika ia melihat lebih dekat otaknya akan ingat dimana pernah bertemu orang itu. Perlahan, Rachel mencondongkan tubuhnya, menatap lebih dekat ke arah objek yang sejak tadi membuatnya takut sekaligus penasaran. Tangan kanannya terangkat, menyibak poni milik orang itu yang menghalangi sebagian wajah.

"Ah, ini kan orang yang mirip sama yang ada di sampul buku legenda raja Arthur!" Seru Rachel. "Dimana bukunya sekrang? Aku harus liat seberapa mirip mereka!"

Rachel segera berdiri. Kepala gadis itu menengok ke kanan dan ke kiri. Mencari keberadaan buku yang tadi ia tinggalkan di atas kasur.

"Ini dia!"

Mata Rachel menatap ke arah orang itu dan ke arah sampul buku dengan bergantian. Membandingkan wajah keduanya.

"Sama persis. Ngga ada bedanya. Tapi--" Rachel menghentikan ucapannya, pandanganya kini lekat ke arah orang itu. "Ganteng yang asli."

Rachel kembali duduk. Kini tatapannya benar-benar terkunci dengan orang itu. Ah ayolah, orang yang kini tengah 'tertidur' diatas kasurnya memiliki paras seorang bangsawan. Rambut warna pirang yang terlihat lembut, bulu mata dan alisnya juga berwarna pirang. Hidungnya mancung dengan sempurna. Garis wajah orang itu juga sempurna. Terkesan tegas.

"Akan sangat bagus jika aku bisa melihat warna matanya," gumamnya tanpa sadar.

Dan sepertinya semesta sedang berbaik hati mengabulkan permintaannya. Satu detik setelah Rachel mengucapkan kalimat itu. Mata orang itu terbuka.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Akh!!!

Yakin, bab ini kek banyak banget adegan ngga pentingnya.
Rasanya stress aku nulisnya...

Sedih😭

Serasa gagal bikin cerita. Aku cuma berharap para readers tetep mau setia baca ceritaku... Meskipun ngga terlalu bagus. Aku bener-bener berharap kalian bisa nikmatin ceritaku dengan baik.

Oh iya... Gomen.... Aku lama ngga publish. Heeee...

Salam hangat

Author ♥️




We?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang