[5]

83 16 0
                                    

Saat itu, di musim dingin, sekolah diliburkan serentak karena memasuki liburan akhir tahun dan musim dingin berakhir dengan sangat cepat. Setiap orang berbahagia dan bersuka cita, sebab mereka akan melakukan perjalanan yang menyenangkan atau merayakan natal bersama keluarga tercinta, teman, kekasih atau ..., tidak untuk Ji Ahn.

Itu adalah musim dingin terburuk sepanjang masa.

Ji Ahn saat itu baru saja pulang, lelah karena tugas menumpuk yang dikerjakan saat mendekati deadline, muak oleh ajakan kencan yang tak ada hentinya dengan alasan sungai Han nampak bagus saat musim dingin, atau bingung dengan ajakan sebagai asisten dosen yang harus dia lakukan demi menemani dosen sosiologi yang mendadak lembur untuk peresmian salah satu meseum baru di Gwangju.

Karena sumpah, begitu dia tiba di rumah, semua kesulitan yang terjadi padanya seolah menguar begitu saja begitu mendapati Jungkook, terduduk di lantai dengan tangis yang kencang.

Raut kebingungan serta keterkejutan terlihat begitu jelas di wajahnya, lalu begitu kedua netranya bergulir ke sisi kiri, di mana ayahnya tengah berbicara dengan sang kakek di ruang tengah, Ji Ahn yakin hal itu bukanlah satu hal yang baik untuk di ajukan pertanya tentang: apa yang terjadi? Atau, kenapa Jungkook dibiarkan mengangis?

Tentu saja, meski Ji Ahn tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya demikian, dia tetap mengutarakannya meski terdengar seperti gumaman lirih yang nyaris tak terdengar. Lantas, Ji Ahn mendekati Jungkook yang kini tengah menatapnya. Adik laki-lakinya itu kemudian berdiri dengan tangis yang masih terdengar, beserta suara sengaunya begitu dia memanggil namanya dan mengadu padanya, "Noona, ibu ..., ibu pergi meninggalkan kita."

Jungkook yang sesenggukan itu kemudian memeluk Ji Ahn dengan erat. Ji Ahn nyaris tak bisa berpikir dengan jernih, Ji Ahn tidak mengerti, dia tak tahu apa yang terjadi. Apa maksudnya?

"A-ayah?"

Pria yang dipanggilnya dengan sebutan ayah itu lantas menoleh padanya. Meski samar, Ji Ahn dapat melihat jejak air mata yang mengering di pipinya. Ji Ahn pikir, ayahnya itu menangis, juga raut wajah kakeknya yang keras membuktikan bahwa semuanya terlihat sangat jelas berhubungan.

"Ada apa? Apa yang terjadi?"

Semuanya memilih bungkam. Ayahnya, kakeknya, juga Jungkook yang terus bicara tentang kepergian ibunya, sama sekali tak memberikan jawaban.

Seolah tak peduli dengan keadaanya, hingga saat ini, ayahnya tetap bungkam mengenai kepergian ibunya. Ji Ahn adalah satu-satunya yang tidak tahu tentang apa pun yang terjadi pada keluarganya. Tentang mengapa ibunya pergi, atau tentang mengapa ayahnya memilih untuk diam dan apa alasan dibalik semua ini.

Putriku, maafkan ibu. Ibu janji akan kembali. Ibu hanya pergi sebentar. Katakan pada Jungkook kalau ibu menyanginya. Maaf karena ibu tidak mengatakan apa pun. Ibu pergi karena harus menemui seseorang. Jangan lupa untuk selalu ingatkan ayahmu tentang Jungkook yang tidak bisa tidur jika tidak diberi pelukan.

Ji Ahn tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis bersama Jungkook ketika dia membaca surat itu di malam harinya.

Ibu mencintaimu, putriku Ji Ahn dan putraku Jungkook.

.
.
.

Semenjak dua tahun itu berlalu, Ji Ahn menjadi protektif, bahkan terkesan posesif pada Jungkook. Dia akan melakukan apa pun yang menurutnya baik untuk adiknya itu. Seperti jangan melewatkan sarapan, jangan pulang terlambat, bersama siapa saja Jungkook berteman, memastikan Jungkook tidak melewatkan kelas malam, tidak melewatkan jadwal lesnya atau apakah Jungkook pergi ke akademi, dan yang penting, makan malam bersama.

Backspace [Jung Hoseok]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang