Benar kata orang, bahwa waktu terus berjalan, dan umur kian bertambah. Namun, kesempatan hidup di dunia semakin berkurang. Rasanya baru kemarin aku mengalami kecelakaan mobil yang merenggut nyawa kedua orang tuaku, sekarang pun masih meninggalkan luka. Setelah lima belas tahun berlalu.
Aku yang mengenakan jilbab berlubang bekas terbakar bersama Abang, duduk saling berpelukan di atas rumput pinggir jalan. Usia kami, delapan dan dua belas tahun kala itu. Menyaksikan hiruk pikuk penyelamatan seadanya yang dilakukan oleh tangan manusia penuh iba pada kedua orang tua kami. Kini kami telah tumbuh dewasa dengan menjunjung tinggi ajaran agama, warisan abadi dari orang tua.
"Assalamu'alaikum, Abang Harithnya Shasa. Nanti pulangnya jangan lupa beliin Tiramisu di tempat biasa, ya? Matcha buat Mbak Ainul juga. Jangan lupa, oke?" Kalimat panjang dengan suara yang kubuat merdu itu terkirim dengan tanda centang dua saat setelah terekam.
Sabtu sore, aku bermalas-malasan di hari libur ini. Aku dengan gamis rumahan bewarna cokelat polos menunggu balasan sambil melihat beberapa story WA teman-teman. Sesekali aku tersenyum tatkala membaca quotes baper yang dibagikan salah satu teman di kajian. Hingga mengangguk setuju bila ada nasehat yang menyentil hati.
Sampai pada story seorang teman yang berprofesi sebagai penulis di salah satu redaksi. Dia memposting foto seorang lelaki bermata sipit, berkulit putih, dengan sedikit jenggot yang menjuntai. Namanya, Syafiq Lin. Seorang CEO muda yang baru saja mendapat penghargaan 50 pengusaha muda tersukses beberapa minggu lalu. Tidak begitu tertarik, aku pun melanjutkan melihat story lain dari kontak yang tersimpan.
Ketukan pintu dari luar seolah menyadarkanku.
"Hafsha ... tolong nanti kalau ada kurir anter paket, ambilin, ya? Mbak mau mandi dulu," pinta seseorang dari balik pintu kamar yang tertutup.
"Iya, Mbak!" jawabku.
Namaku Hafsha Kamilatunnisa. Abang biasa memanggilku Shasa. Rumah ini adalah kotak memori yang menyimpan banyak kenangan bersama Umi dan Babah. Setiap sudut ruangnya adalah potongan puzzle kebahagiaan kami kala itu.
Setelah mengiyakan permintaan Mbak Ainul, istri Bang Harith yang dinikahinya empat bulan lalu. Aku segera turun dari ranjang, mengambil jilbab instan krem yang disangkutkan pada pegangan lemari dekat jendela, lalu berjalan menuju pintu.
Baru saja tangan ini meraih knop pintu, aku kembali menuju ranjang. Netraku menelisik lantai sekitar ranjang dengan seksama. Mencari sesuatu benda di lantai.
"Ketemu!" kataku keras sambil menunduk mengambil sepasang kaus kaki hitam yang menyuruk di bawah ranjang dekat meja rias.
Kebiasaanku melempar asal penutup aurat yang sering terlupakan itu saat sudah digunakan berulang kali mendapat 'repetan' dari Mbak Ainul dan Bang Harith. Kalian tahu? Yang namanya kebiasaan ya susah dirubah.
Ting!
Tepat setelah aku mengenakan kaus kaki, sebuah notifikasi WA berdenting, menandakan ada pesan yang masuk.
Bang Harith
[Iya]Mataku berbinar melihat balasan dari Abang. Walau hanya sekata, tapi tak sedikit pun menyakitkan hati. Karena memang seperti itulah sifat Abang, Harith Akbar. Tak banyak bicara, tapi melakukan apa pun yang dipinta. Selagi masih dalam jangkauan dan tak meyalahi agama. Ia seorang PNS di sebuah SMA favorit di Pekanbaru. Mengajar mata pelajaran matematika lebih tepatnya.
"Paket!"
Pekikan kurir di depan teras mengagetkanku. Segera kuberlari menuju teras depan untuk mengambil pesanan Mbak Ainul. Karena tergesa-gesa, tak sengaja ujung kaki ini menabrak kaki kursi di ruang tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAFSHA - Ketika takdir menggoreskan luka [Terbit] ✔️
RomanceKata pembaca, cerita ini seperti drama Fated Love (Korea) yang bersatu dengan Ayat-ayat Cinta (Indonesia). Kisah yang sama-sama mengharu biru di setiap part-partnya. Apa iya? Buktikan sendiri! _______ Genre : Romance-religi Blurb : Hafsha terpak...