Sesampainya aku di depan rumah, tampak Mami, Papi, dan Lin sedang berdiri di depan pintu. Mami dengan wajah cemasnya, sedangkan Lin dengan sorot mata tajamnya. Aku tahu bahwa ini salahku. Pulang saat bulan telah benderang bersama bintang yang kemerlap. Ya, aku baru saja pulang setelah menyelesaikan salat Isya tadi.
"Kamu dari mana?!" tanya Lin dengan suara tinggi.
Aku terkejut, baru pertama kalinya mendengar suara tinggi seperti ini darinya. Namun, rasa kesal akibat dia yang melupakan janjinya siang tadi dan malah pergi berduaan dengan Mbak Syabila, membuatku tak ingin menjelaskan apa pun. Rasanya semua percuma saja.
"Nak ... ayo kita masuk dulu. Nanti bisa dijelaskan di dalam." Mami menuntunku ke dalam rumah setelah menjawab salamku. Kami duduk di ruang keluarga.
Aku menatap Lin sekilas. Ada amarah yang terpancar dari sorot mata sipitnya. Apakah dia marah karena aku pulang terlambat? Apa dia tidak tahu kalau ini semua juga bermula dari kesalahannya?
"Hafsha, kamu sudah makan malam?" tanya Papi setelah meminta Mbak Tari membawakan minum untukku.
Aku mengangguk. Tiba-tiba saja aku merasa tak kuasa untuk mengucapkan sepatah kata. Rasanya terlalu sesak kala mengingat apa yang terjadi sore tadi. Kemesraan Lin dengan Mbak Syabila, lalu saat Marco datang menyapaku.
"Nak? Kenapa HP-nya gak aktif? Mami khawatir banget, takut kamu kenapa-napa. Hampir aja Mami lapor polisi waktu tau kalau Harith juga lagi gak di rumah." Aku terbelalak saat Mami menyebut nama Bang Harith. Kalau sampai Bang Harith tahu akan kejadian hari ini, mungkin dia akan memarahiku habis-habisan.
"Ma-af ...." Aku semakin menunduk. Melihat Mami yang begitu khawatir membuatku merasa bersalah.
"Apa kamu gak bisa memberi kabar sebelum pergi?! Jangan buat semua orang khawatir seperti ini, Hafsha!" bentak Lin di akhir kalimatnya.
Mataku terasa panas. Tak terasa genangan yang kutahan tumpah ruah kala mendengar bentakannya.
"Syafiq! Cukup! Kamu sendiri lupa narok HP kamu di mana. Sekarang malah bentak Hafsha kayak gini. Seharusnya kamu tanya dia baik-baik, dia sedang mengandung darah daging kamu! Ingat itu!" bentak Mami.
Aku mulai terisak. Mendengar bentakan demi bentakan membuat hatiku remuk redam. Aku adalah tipe orang yang tak bisa dibentak. Walau bukan ditujukan untukku, tapi rasanya seluruh dunia hancur setiap mendengar bentakan itu.
"Astagfirullah, Nak. Kamu kenapa? Ini diminum dulu." Mami menyodorkan segelas air bening untukku. Dengan tersedu menahan tangis, aku meminumnya sedikit.
"Tangan kamu kenapa, Hafsha?" tanya Papi menatap tanganku yang berplaster. Suaranya terdengar khawatir.
"Astagfirullah! Ini bekas jarum infus, 'kan? Kamu kenapa? Ya Allah ...," ucap Mami sembari membawa tangan kananku ke dalam genggamannya.
"Shasa ... tadi pingsan," ucapku jujur.
"Astagfirullah, Nak. Kamu gak pa-pa? Cucu mami? Kalian gak pa-pa, 'kan?" tanya Mami, panik.
Aku hanya menggeleng pelan. Sisa isak tangis sedikit menyulitkanku untuk bicara. Papi kemudian memintaku untuk beristirahat di kamar. Dalam sikap tenangnya, aku dapat melihat semburat khawatir pada wajahnya.
Aku pun menurut, melangkah menaiki anak tangga, satu persatu dengan hati-hati. Mami membantuku walau pun aku sudah mengatakan bisa sendiri dan baik-baik saja.
****
Aku duduk di atas ranjang dengan bersandar bantal yang diletakkan di balik punggung. Setelah bersih-bersih, tubuhku terasa lebih segar dan rileks. Aku membuka ponsel yang sebelumnya sudah diisi daya dan baru terisi tiga puluh persen. Mengecek panggilan tak terjawab dan chat masuk yang belum terbaca di aplikasi hijau tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAFSHA - Ketika takdir menggoreskan luka [Terbit] ✔️
RomanceKata pembaca, cerita ini seperti drama Fated Love (Korea) yang bersatu dengan Ayat-ayat Cinta (Indonesia). Kisah yang sama-sama mengharu biru di setiap part-partnya. Apa iya? Buktikan sendiri! _______ Genre : Romance-religi Blurb : Hafsha terpak...