"Saya ... istrinya." Air muka perempuan bernama Syabila itu terlihat sedih.
Tiba-tiba, kelopak mataku memanas.
"Saya tau, kamu pasti terluka. Selain fisik, hati dan jiwa kamu pasti lebih tersiksa. Dek ... saya mengenal siapa suami saya. Sa--"
Tiba-tiba ada suara seseorang memukul daun pintu dengan kuat, menghentikan kalimat yang akan diucapkan oleh perempuan muda itu.
"Berani-beraninya kalian datang ke sini!" Abang datang dengan muka merah padam. Rahangnya mengeras dan sorot mata itu ... astagfirullah, Abang sudah dikuasai amarah. Tubuhnya seperti menghadang tamu itu layaknya menghadang serigala yang hendak menyerangku.
Kenapa Abang tiba-tiba pulang? Bukankah ia bilang akan pulang terlambat? Mana mobilnya? Mengapa peluh membasahi keningnya? Begitu banyak pertanyaan yang mampir di kepalaku.
"Abang?" seru Mbak Ainul dengan nampan di tangannya.
Abang tak menoleh sedikit pun. Pandangannya hanya tertuju pada dua sosok wanita di hadapannya. Aku menarik lengan bajunya, pelan. Memintanya untuk sedikit bersabar dan mengucapkan kalimat istighfar.
Abang menghembuskan napas, kasar.
"Astagfirullah ...," gumamnya.
Namun, baru tiga detik ia tenang, tangannya kembali mengepal. Bersusah payah aku menahan air mata yang sudah menggenang. Melihat antara kenyataan yang baru saja kudengar dan amarah Abang yang membuatku gusar.
Oh Allah ... mengapa cobaan-Mu datang tiada henti?
"Bang, kenapa udah pulang? Ada yang ketingga--"
"Diam!!" bentak Abang memotong kalimat Mbak Ainul. Kulihat raut ketakutan dan sedih disaat bersamaan pada wajahnya.
"Kenapa dua orang ini diizinkan masuk ke rumah ini?!" Abang menoleh pada istrinya yang sudah meneteskan air mata. Mbak Ainul sama denganku, bungsu yang selalu dimanja dan tak biasa dengan bentakan.
"Kamu tau, Ai?! Mereka ini orang gak punya hati yang seenaknya minta abang menarik gugatan dan akan ganti rugi! Orang kaya seperti mereka ini, gak akan ngerti sama penderitaan yang orang seperti kita alami!" Abang menatap dua perempuan itu, geram.
Tuntas sudah, Abang mengatakan amarahnya sekaligus dengan beberapa penekanan di akhir kalimat. Begitu pun dengan Mbak Ainul, air mata yang semula hanya mengalir setetes, kini sudah tak terbendung lagi. Lelehan itu semakin deras.
Sebelumnya, Abang tak pernah memarahi Mbak Ainul, sekalipun ia melakukan kesalahan. Namun, perlakuan Abang hari ini, pasti menorehkan luka di hatinya. Lihatlah, dengan linangan air mata, tangan yang masih memegang nampan itu, bergetar. Ia sedang menahan kekecewaannya.
"Silahkan pergi dari sini! Saya akan tuntaskan permasalahan ini di pengadilan." Amarah Abang mulai sedikit mereda.
"Jangan ganggu kehidupan adik saya. Dia terlalu rapuh untuk menghadapi semua ini. Saya mohon, silahkan pergi dari sini." Kini, nada bicara Abang benar-benar sudah kembali normal.
Dua perempuan beda usia itu tampak pasrah. Sepertinya, ini bukan kali pertama mereka mendapatkan perlakuan Abang yang menggebu-gebu melampiaskan amarah. Mereka pamit undur diri.
Mbak Ainul tampak kecewa. Nampan berisi dua gelas teh dingin itu dihempaskan ke atas meja dan menumpahkan sebagian isinya. Raut wajahnya tampak sedih berbalut amarah. Ia meninggalkan ruang tamu dengan sedikit berlari, menuju kamar.
Allah ... sungguh luka ini sangat perih, tapi biarlah aku yang menanggung semuanya. Jangan biarkan Abang dan Mbak Ainul turut terdampak akan luka yang kuderita. Batinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAFSHA - Ketika takdir menggoreskan luka [Terbit] ✔️
RomanceKata pembaca, cerita ini seperti drama Fated Love (Korea) yang bersatu dengan Ayat-ayat Cinta (Indonesia). Kisah yang sama-sama mengharu biru di setiap part-partnya. Apa iya? Buktikan sendiri! _______ Genre : Romance-religi Blurb : Hafsha terpak...