Aku memandang foto pernikahan Mbak Syabila dan Lin di ruang keluarga setelah Lin pergi menuju bandara, sehabis makan siang. Menelisik senyum kebahagiaan yang terpancar dari keduanya. Tatapan mereka penuh kelegaan juga ceria. Tak seperti foto pernikahanku, hanya ada tatapan penuh luka juga rasa bersalah.
Sebuah album foto yang berada di antara buku-buku besar, menarik perhatianku. Aku pun mengambilnya, lalu duduk di sebuah kursi gantung berbentuk sangkar burung di teras samping. Pemandangan kolam ikan Koi dengan suara gemercik air menenangkan pikiranku.
Satu per satu mulai kubuka lembaran album yang berisikan foto-foto masa kecil Mbak Syabila. Mulai dari ia bayi, balita, anak-anak, hingga remaja. Wajahnya memang sudah cantik sedari kecil.
"Dek?" Aku menoleh kala mendengar suara Mbak Syabila.
"Di sini, toh. Mbak kira kamu di kamar, istirahat. Rupanya di sini." Ia kemudian duduk di kursi sangkar yang satunya lagi. Tepat di sebelahku, di seberang meja kecil.
"Kamu tau nggak? Ini tuh spot favoritnya Mas Syafiq kalo di rumah ini. Persis di tempat kamu duduk sekarang." Aku menatap Mbak Syabila, heran. Mengapa ia begitu antusias memberitahuku akan kebiasaan Lin akhir-akhir ini? Apakah ia tidak merasa tersaingi jika aku mengetahui itu semua?
"Kamu lagi lihat apa?" tanyanya sembari melirik album yang tengah kubuka.
"Eh, maaf, Mbak. Ini ... album fotonya Mbak, apa tidak pa-pa kalau ...."
"Gak pa-pa kok, Dek. Lihat-lihat aja, tapi mbak jelek loh," ucap Mbak Syabila mengizinkanku sembari terkekeh.
"Jelek apanya, Mbak? Ini udah cantik sejak dalam kandungan kalau gini nih," ungkapku, jujur.
"Bisa aja kamu, Dek."
"Mbak anak tunggal, ya?" tanyaku kemudian. Mencoba untuk lebih dekat dengannya dan menjadi diriku yang sebelumnya.
"He'em. Umi bahkan harus nunggu sampai sebelas tahun baru bisa dapet mbak. Garis keturunan Umi memang tak memiliki banyak anak. Umi pun anak satu-satunya," jelas Mbak Syabila.
Aku terdiam. Teringat akan perbincanganku dengan Mbok Jah beberapa hari lalu. Mbok Jah menceritakan bagaimana Mami begitu kecewa setelah mengetahui bahwa Mbak Syabila tak dapat memiliki anak. Begitu pun Mbak Syabila yang tampak sedih saat ini.
"Mbak ... Shasa boleh minta sesuatu?"
"Eh, iya, apa itu, Dek? Bilang aja. Mbak udah pernah bilang, 'kan? Kamu jangan sungkan. Kita keluarga, harus saling berpegangan tangan." Wajahnya kembali tersenyum.
"Itu, emm, Shasa pengen makan ice cream." Aku menunduk, rasanya sungguh membuatku malu, meminta sesuatu yang kuinginkan sebab faktor kehamilan pada istri pertama yang divonis mandul.
"Kamu ngidam? Masyaa Allah, oke-oke, mbak beliin kamu ice cream di minimarket depan kompleks sana. Kamu mau ice cream rasa apa?" tanyanya antusias, bahkan lebih antusias dari pada aku yang mengidam.
"Ice cream rasa matcha. Boleh, Mbak?" ungkapku, ragu. Entahlah, padahal sebelum ini aku bahkan tak menyukai makan apa pun yang berbahan matcha. Namun, kali ini aku begitu menginginkannya.
"Ehm ... kayaknya kalo rasa itu harus ke mall dulu, Dek. Kamu gak pa-pa nunggu agak lamaan dikit?"
Aku menatap Mbak Syabila, "kalau ngerepotin, gak usah aja, Mbak. Shasa gak enak."
Mbak Syabila beranjak dari duduknya. Melangkah cepat dan berdiri di hadapanku.
"Kan udah mbak bilang, kamu gak boleh sungkan. Mbak gak ngerasa direpotin, kok." Ia memegang kedua bahuku, lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAFSHA - Ketika takdir menggoreskan luka [Terbit] ✔️
RomanceKata pembaca, cerita ini seperti drama Fated Love (Korea) yang bersatu dengan Ayat-ayat Cinta (Indonesia). Kisah yang sama-sama mengharu biru di setiap part-partnya. Apa iya? Buktikan sendiri! _______ Genre : Romance-religi Blurb : Hafsha terpak...