SANG SENDU

18 3 0
                                    

      Arlin menatap kosong gedung yang berada dihadapannya. Hotel mewah di hadapannya itu tak mampu untuk mengobati rasa kosong dihati gadis itu. Ingin rasanya ia tidak menghadiri acara itu namun ia tidak sanggup untuk mengelak lagi. Arlin melangkahkan kakinya memasuki pintu masuk yang lumayan padat karena tujuan mereka sama dengan Arlin saat ini. Arlin ingin melangkahkan kakinya memasuki antrian lift namun kakinya memintanya untuk berhenti. Arlin lalu membelokkan langkahnya menuju ke taman hotel yang berada dibagian belakang hotel itu.

      Arlin berhenti didepan sebuah air mancur dan Arlin mengedarkan pandangannya melihat ke sekeliling. Ia takut ada yang melihatnya menangis dan terlihat lemah. Arlin menghirup nafasnya dalam-dalam mencoba untuk mengurangi sesak di dadanya yang sedari tadi ia tahan. Air mata gadis itu perlahan luruh dan kaki gadis itu bagai jeli. Ia terduduk di rerumputan sambil terus menangis. Ia menangisi hidupnya yang selalu menyedihkan. Ia menangisi jika semesta dan takdir selalu mempermainkannya dengan kejam. Ia menyesal dengan kehidupannya. Kesedihan dan tangis silih berganti menghampirinya. Ini adalah fase terendah ketiga dalam hidupnya dan tentunya ketiganya berhasil menorehkan luka dan meninggalkan sendu baginya.

      Arlin semakin terlarut dalam tangisnya. Ia tidak peduli gaun yang ia gunakan menjadi kotor. Ia tidak peduli jika riasan wajahnya luntur semua. Ia tidak peduli jika matanya agak bengkak. Ia hanya ingin melepaskan semua sedihnya saat ini. Arlin lalu melepas sebuah cincin yang tertaut manis di jarinya. Ia membuang cincin itu ke sembarang arah dan tak peduli lagi pada cincin itu.

      Saat Arlin semakin terlarut dalam tangisnya, sebuah saputangan terulur padanya dan membuat Arlin terkejut. Arlin menatap wajah sang pemberi saputangan itu dan si pemberi saputangan itu adalah seorang anak kecil dengan gaun yang imut dan riasan rambut yang sangat imut juga untuk anak kecil itu.

"Tante jangan nangis lagi. Ini aku kasih saputangan supaya tante tidak sedih lagi."ucap gadis kecil itu memberikan saputangan itu ke tangan Arlin. "Tante jangan sedih lagi ya. Kata paman tante tidak boleh sedih terus. Tante harus bangkit supaya tante bisa membuktikan pada semua orang bahwa tante adalah orang yang kuat." Gadis kecil itu menunjuk kearah sebuah kursi dimana seorang pria duduk dengan arah pandangnya menatap Arlin. Dan tak lama kemudian gadis kecil itu pergi mendekati lelaki itu dengan senyuman ceria.

      Arlin bangkit dan berjalan kearah pria dan gadis kecil itu. Arlin bukan ingin berterimakasih padanya, namun ia merasa bahwa pria itu terlalu ikut campur pada kesedihannya. Ia bahkan tidak mengenal pria itu tetapi mengapa pria itu terlihat begitu peduli? Dan itu yang membuat Arlin marah. Ia membenci tatapan kasihan dan ia membenci jika ada orang asing yang mengganggunya.

"Apa maksudnya?" Tanya Arlin dengan kilat mata marah. Ia bahkan tidak mempedulikan bagaimana penampilannya saat ini. Rasa ego dalam dirinya serasa tersentil karena tatapan kasihan pria itu.

" Saya hanya mau membantu. Saya melihat kamu lebih membutuhkan saputangan itu daripada saya. Saya hanya mau membuatmu berhenti menangis."ucapnya menatap intens Arlin. Mendapat tatapan itu Arlin menjadi berspekulasi bahwa tatapan itu adalah tatapan mengasihani.

"Saya tidak perlu rasa kasihan kamu! Jangan bersikap sok baik pada saya karena saya tidak membutuhkan sikap sok baik kamu!" Arlin memberikan dengan kasar saputangan itu lalu Arlin segera berbalik menjauhi pria itu sedangkan pria itu hanya tersenyum kecil dan tertawa kecil. Ia tidak bermaksud mengasihani gadis itu, ia hanya mau membantu gadis itu agar tidak terlarut dalam tangisya namun gadis itu sepertinya salah paham terhadapnya. Sekali lagi pria itu menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh dengan senyuman masih terpasang di wajahnya.

     Arlin melangkahkan kakinya memasuki ruangan pernikahan itu lalu kaki Arlin melangkah memasuki sebuah ruangan khusus untuk pengantin dan keluarga pengantin. Arlin memasuki ruangan itu dengan malas. Ia rasanya ingin segera pergi dari tempat itu namun sekali lagi ia tidak bisa karena yang menikah adalah saudari kembarnya dengan lelaki brengsek itu. Arlin mengambil posisi duduk yang sedikit jauh dari ayahnya dan Airlin, dan gadis itu dapat melihat wajah berbahagia Airlin, kembarannya itu.

"Cih, wanita ular!" seru Arlin dalam hatinya saat melihat wajah Airlin.

      Airlin menatap Arlin dengan tatapan kemenangan. Ia merasa sangat senang melihat Arlin, saudari bodohnya itu menderita. Ia merasa bahagia karena saudari bodohnya itu tersiksa. Arlin begitu bodoh dan terlalu kuno baginya. Airlin begitu menyimpan dendam pada Arlin karena baginya Arlin lah penyebab ibunya meninggal dan ayahnya menjadi suka mabuk-mabukan dan kasar padanya. Ia senang telah menghancurkan hidup Arlin karena dalam hatinya ia ingin Arlin merasakan sakit yang ia rasa karena harus kehilangan semuanya karena ulahnya.

"Arlin!"panggil Airlin dengan wajah ceria yang sengaja ia pasang lalu berjalan mendekati Arlin. "Aku kira kamu tidak akan hadir. Aku senang banget deh kamu hadir." Ucap Airlin memasang perilaku manisnya didepan semua orang dan hanya Arlin yang mengetahui bagaimana sifat asli Airlin.

"Terpaksa." Jawab Arlin singkat.

"Kamu masih marah sama aku? Aku kan sudah minta maaf padamu. Aku kan sudah katakana kalau aku mau mundur kalau kamu mau terus bersama Rian. Aku sudah katakana kalau aku bakal rela menderita asal kamu bahagia. Dan kamu yang bilang kalau aku tidak boleh mundur dan kamu mendukung hubunganku walau rasanya sakit. Tapi kenapa sekarang kamu katakana terpaksa?" ucap Airlin memasang wajah polosnya.

     Mendengar itu emosi Arlin berada pada puncaknya. Airlin berbohong. Ia tidak pernah mengatakan hal-hal itu, malah dari awal Airlin lah yang memaksanya untuk pergi dan Airlin lah yang memaksanya untuk mundur. Airlin lah yang membuatnya menderita dan sekarang si wanita ular dihadapannya itu memutar balikkan fakta sebenarnya. Arlin menatap Airlin dengan kilat mata marah. Ia ingin membalas semua ucapan Airlin namun ucapannya terhenti saat sebuah tamparan mengenai pipinya dan yang menamparnya adalah ayahnya. Ayah yang selalu ia sayangi dan banggakan walau ayahnya selalu membuatnya menagis semenjak kepergian ibunya. Arlin menatap nanar ayahnya. Hatinya sakit, hancur dan remuk. Arlin berharap ayahnya lah yang mengerti semuanya tetapi ia salah. Ayahnya juga membencinya, ia dapat melihat dengan jelas kilatan kebencian dari mata ayahnya.

"Ayah tidak pernah mengajarkan kamu untuk jahat pada saudarimu! Kamu semakin kurang ajar pada keluarga ini. Kamu yang menyebabkan istriku meninggal dan kini kamu hampir merusak kebahagiaan Airlin. Harusnya lebih baik kamu yang mati daripada istriku." Ucap ayahnya mengguncang tubuh Arlin berkali-kali dengan keras.

"Ayah tidak pernah mengajariku. Ayah hanya fokus pada kehidupan menyedihkan dan tak pernah melihat ku. Bahkan aku sudah membeberkan kebenarannya pada ayah tapi sepertinya itu sia-sia. Semuanya sia-sia karena ayah juga membenciku." Ucap Arlin mencoba menahan air matanya sekuat tenaga. Namun sekuat apapun ia menahannya air mata itu tetap turun dengan deras.

"Jika aku mengatakan bahwa aku tidak melakukan itu semua dan Airlin telah berbohong, apakah ayah akan memercayaiku?" Tanya Arlin dengan tatapan berharap agar ayahnya percaya padanya. Namun bukan kepercayaan yang ia dapat malah ia harus merelakan tubuhnya dihempas begitu kuat ke dinding ruangan itu.

"Berhentilah berbohong! Dasar pembunuh! Kamu yang harusnya mati bukan istri saya."teriak ayahnya mencekik Arlin dengan keras.

"Ayah sudah!" teriak Airlin memisahkan ayahnya dengan Arlin yang hampir pingsan. "Ayah, ini hari bahagiaku. Airlin mohon jangan mengotori tangan ayah dengan membunuh pembunuh ini disini. Sebaiknya kita keluar saja ayah." Arlin melihat ayahnya dan Airlin berjalan keluar ruangan itu dan tidak lama kemudian semuanya gelap.

*****

Welcome to L&K World💞

Semoga suka cerita baru author🙏


Tapanuli Tengah, 1 Juli 2020

Author

Luka dan KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang