Pagi berikutnya hujan tidak lagi datang menyambut, mungkin karena musim sudah berganti kemarau atau bisa jadi semesta sadar ada yang berbeda. Mereka tahu sesuatu namun enggan untuk berkomentar, cukup memantau dan menyaksikan serta mengevaluasi.
Lastri berkutik dengan berkas-berkasnya, sesekali melihat jam di layar handphone yang tak lagi menunjukkan wajahnya. Hanya gambar alam semesta di wallpaper handphone itu.
Sudah lama gambar itu berganti, bisa jadi karena ia tak ingin mengingat kembali rasa yang pernah singgah atau mungkin karena ada yang berbeda. Perubahan drastis pada hatinya.
Lastri mengingat kembali dan bertanya dalam diri, mengapa? Apa yang terjadi? Mungkinkah ini awal dari hal yang ingin ia hindari? Dan kebimbangan mulai menghampiri.
'Aku harap ini bukan bahaya yang ingin ku jahui, ini masalah untuk ku.' batin Lastri.
Eny datang tanpa diundang.
"Woi!" Eny mengejutkan Lastri.
"Astaghfirullah!" Lastri terkejut.
"Jantung ku hampir aja mau copot, huh!" Keluhnya."Kau itu ngelamun aja sih, fokus dong." Ujar Eny.
Lastri hanya diam, ia kembali fokus pada kerjaannya. Tak lama sebuah pesan dari grup angkatan masuk. Eny dan Lastri sama-sama membuka handphone mereka.
'Nanti malam makan angkatan ya, wajib datang semua...' isi pesan dari bang Agus.
"Kau datang? Hmmm aku sebenarnya males kali loh," keluh Eny.
"Datang aja, sesekali kan?"
Eny tersenyum masam.
Angkatan mereka tidaklah ramah seperti kelihatannya, masih ada Ego dan ingin cari muka sendiri didalamnya. Eny dan Lastri tidak ingin dekat lebih jauh, mereka lebih memilih untuk menghindari dan menyendiri dari pada harus gabung sama orang-orang yang menurut mereka berwajah banyak.
Mungkin semua orang pernah merasakan itu, namun hanya sedikit orang yang dapat menghadapi hal tersebut. Dari pada melawan, Lastri dan Eny lebih memilih menghindarinya.
°°°
Agus cukup dekat dengan Vina. Tidak hanya dekat karena mereka satu devisi namun entah mengapa mereka terlihat sering bersama.
Setidaknya makam malam bersama walaupun tidak pernah berdua, bahkan sholat juga sering kelihatan bersama. Orang-orang di perusahaan seperti membaca sebuah tanda, yah mungkin saja mereka ternyata sudah backstreet dari awal. Mungkin juga itu tidak seperti kelihatannya.
"Vin, nanti malam kalian main badminton?" Tanya Agus.
"Iya, jadwal kami sebenarnya Minggu, cuma Minggu kita lembur jadi aku ambil malam ini. Bareng sama anak cowo yang lain sih, kenapa? Mau ikutan?" Tanya Vina balik.
"Gak ada kerjaan sih aku malam ini, aku tanya Hendri dulu. Kalau dia ikut biar aku ikut juga." Agus segera mengechat Hendri, teman setimnya.
"Ikutlah, biar rame kita." Ajak Vina semangat, dan Agus hanya membalas dengan senyuman.
Sebelumnya, tepatnya seminggu yang lalu tanpa sengaja saat selesai sholat Maghrib Lastri dan Elpi bergegas pergi menuju lapangan badminton.
Lastri dan Elpi adalah anggota dari tim olahraga badminton versi wanita, mereka sudah lama ikut dalam tim tersebut. Selain mereka masih banyak lagi anggota yang lain dan Vina juga salah satunya.
"Mau kemana Las?"
Pertanyaan dadakan tersebut menghentikan langkah kaki Lastri dan Elpi. Itu suara Agus, dulu sekali Lastri tidak pernah peka dengan suara tersebut namun sekarang ia bahkan sangat sensitif dengan suara itu.
"Main badminton bang, bareng anak-anak yang lain." Jawab Lastri mengalihkan pandangan menunduk kebawah.
"Rame? Anak cowonya siapa aja?" Tanya Agus masih penasaran.
"Lumayan bang, ada Hendri juga bang." Lastri masih enggan mengalihkan pandangan dari sepatu Kets nya.
"Dimana tempatnya?"
Perasaan Lastri kembali kacau, ia tak tahu harus apa. Padahal itu hanya pertanyaan biasa dan wajar namun baginya itu adalah ancaman untuk hatinya yang lemah.
"Di samping warnet depan bakso mas Jay bang, disitu lapangan badminton nya."
Setelah menjawab itu Lastri langsung menarik tangan Elpi dan berpamitan. Ia tergesa-gesa menuntun Elpi ke parkiran.
"Kenapa kak? Kok kau jadi malu-malu gitu?" Elpi mulai penasaran.
"Malu aja ditanyain ini itu, lagian aku gak enakan sama Abang itu sih," jawab Lastri lemas.
"Gak enakan? Kakak buat salah?" Tanya Elpi kembali, junior yang satu ini memang punya rasa penasaran yang tinggi.
"Entahlah, aku segan aja sama Abang itu. Apalagi kau tahu gosip itu kan? Abang itu dan kak Vina dikabarkan sedang dekat, aku jadi gak enakan kalau dilihat orang dan salah paham."
"Ya ampun, biasa aja sih. Disini kalau gosip udah jadi makanan sehari-hari. Belum tentu juga gosip itu beneran." Elpi tersenyum kikuk.
"Gini deh, aku punya sesuatu rahasia. Kakak jangan bilang ke siapapun ya? Sebenarnya aku pernah mimpi nikah sama Abang itu, hehehe." Sambung Elpi.
Lastri melirik dengan wajah bimbang, "Kau ada rasa?" Tanya Lastri penasaran.
"Gak tahu, tapi yang jelas siapa sih yang gak suka Abang itu. Dia ganteng, baik, rajin ibadah dan perhatian lagi. Hmmm, fix sih dia itu suami idaman sekali." Elpi senyum-senyum sendiri.
"Terserah deh, yuk jalan aja. Kita Uda di tungguin yang lain nih," ajak Lastri.
Merekapun akhirnya memutuskan untuk bergegas menuju lapangan badminton.
°°°
Malam itu terasa sangat mendebarkan, bukan karena makanan yang disajikan terlalu enak namun karena tepat di depan steak ayam yang berlumur kaldu dan saus sambal tersebut ada Agus berbincang-bincang dengan Hendri dan teman-teman yang lain.
Lastri tidak pernah memperhatikan sebelumnya, dulu saat seperti ini ia tak pernah berdebar. Bahkan ia pernah bersebelahan dengan Agus sambil menyantap nasi goreng kampung dan saling melirik saja dia sudah biasa, tapi kali ini hanya untuk menatap saja Lastri tidak mampu.
Pada akhirnya Lastri memutuskan untuk duduk menyamping ke kiri, menatap teman perempuan yang menikmati kopi pahit. Tapi tingkahnya tak pernah lepas dari pantauan teman-temannya.
"Duduk mu kok gitu? Yang bagus dong, tegak lurus kenapa?" Ujar Hani, salah satu teman angkatan mereka yang masih menikmati kopi pahit dari Turki tersebut.
"Gak nyaman, enakan gini sih menurutku." Ujar Lastri mencari alasan.
"Gak nyaman sama duduk mu atau sama yang didepan?" Goda Lia padanya.
"Ku lihat kau akhir-akhir ini menghindari bang Agus loh, coba deh tatap matanya?" Pinta Lia."Menghindar apaan? Biasa aja sih." Ujar Lastri memelas.
"Kalau gitu tatap lah mata bang Agus," kini Hendri ikut meladeni, mereka sangat memojokkan keadaan Lastri yang sedang mengatur perasaan nya.
"Gak mau!" Tolak Lastri.
"Cie cie, ketauan nih ada yang menyimpan rasa. Bang Agus gimana bang?" Hani memanaskan suasana.
"Kenapa sih kalian ini? Lagian aku tuh gak mungkin punya rasa sama bang Agus, kalau pun ada aku juga sadar kalau bang Agus bisa dapat yang lebih baik dari ku. Dia wajib dapat yang lebih baik." Jantung Lastri seperti dipompa.
"Emang menurut mu, kategori layak untukku seperti apa?"
Pertanyaan Agus membuat suasana hening, bahkan teman-teman yang lain ikut terdiam.
'Layak? Aku juga tidak tahu. Aku hanya tahu jika kelayakan itu tidak pernah ada pada diriku, harusnya aku sudah memupus semua rasa aneh ini. Namun masih bisakah aku punya harapan lain, setidaknya biarkan aku bersaing dulu dan bukan berhenti tanpa berusaha.'
°°°
To be continue

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dalam Doa
RomanceSulastri baru saja putus dari pacarnya, namun ia masih belum bisa move on. Setahun sejak ia memutuskan untuk tidak mencintai pria yang bisa menghancurkan hatinya, tiba-tiba ia disambut oleh pria lain. Agus Fikri Ramadhan, seniornya. Agus Fikri Ramad...