#22 (Perjalanan Hidup)

111 11 0
                                    

بسم الله الر حمن الر حيم

"Hidup itu tentang sebuah perjalanan, caramu menjalaninya, dan caramu memberi arti pada perjalananmu itu." -Wilz Kanadi-

================================
Ketika kamu merasa hidupmu tak indah, belajarlah kepada Langit. Ia tak selamanya cerah, namun setia menaungi langkah.
================================

Arief tiba di UIN Bandung setelah adzan maghrib berkumandang. Dengan sigap ia mengirim pesan kepada Azril, bahwa ia sudah sampai.
Lantas ia pun bergegas menuju rumah Alloh untuk menunaikan kewajiban.

"Wahai Dzat yang maha kuat, tolong kuatkan sahabatku untuk melalui ujian yang cukup berat," bisiknya pada bumi di sujud terakhir dengan khidmat.

Setelah selesai dengan ritualnya, Arief mengedarkan pandangan mencari seseorang.

Nihil tak terlihat, akhirnya ia merogoh handphone dari kocek celananya. Jeda seperkian detik, panggilannya terhubung dengan Azril.

"Lo dimana sih? Gue udah di luar masjid nih."

"Tunggu di sana!"

"Tumben Azril gak ngomen, biasanya dia menasehati untuk mengucap salam terlebih dahulu. Sekacau itu ya pikirannya, huft."

Arief pun memilih duduk di teras, matanya tak lepas mengedarkan pandangan. Bukan untuk mencari seorang ukhti, tapi sosok akhi. Entah kenapa ia sangat khawatir, padahal Azril bukan lagi anak kecil. Ini bukan kali pertama baginya.

Akhirnya, bola mata itu menangkap sosok yang sudah tak asing lagi, berjalan dengan langkah gontai berusaha menghampiri. Lengkap dengan kepala yang tertunduk, membuatnya terlihat sangat menyedihkan.

Kini Arief yang bergerak menghampiri, terlalu lama jika harus menunggu Azril yang berjalan dengan langkah tak pasti. Seolah banyak duri yang ia tapaki.

Arief menghadang langkah Azril, membuatnya terpaksa mengangkat kepala. Setelah itu, tanpa aba-aba Azril langsung duduk bersender pada dinding Masjid. Begitu pula dengan Arief.

Hening, mereka bergeming!

"Are you okay?"

Azril hanya memberi anggukan kecil sebagai jawaban.

"Semua akan baik-baik saja! Percayalah," ujar Arief seraya menepuk bahu Azril tiga kali.

Azril hanya diam memandang langit malam.

"Ril, hidup itu gak selamanya indah. Langit saja tak selalu cerah, lihatlah kini ia gelap."

"Tapi langit ditemani bintang-bintang yang indah," ujar Azril sangat lemah.

"Lo juga liat, berapa banyak bintang yang menemani langit. Tidak hanya satu bukan? Langit itu ibarat lo, dan bintang-bintang itu adalah orang-orang yang sayang sama lo. Oke salah satu bintang itu adalah Zahra, tapi saat Zahra tak ada; apa langit akan menganggap semua bintang tiada?"

Azril pun menggeleng cepat, perumpamaan Arief tepat. Masih banyak orang yang menyayanginya, meski salah satu orang yang kita sayang menghilang.

"Gue cuman nyesel rif, gue marah sama diri gue sendiri. Gue bodoh," celoteh Azril mencerca dirinya!

Arief menghembuskan napas dengan kasar, ia ikut merasakan sesaknya. Apalagi suara Azril sangat kentara menahan air mata.

[TERBIT] Gapailah Cita Sebelum Cinta [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang