#25 (Buah Penantian)

101 10 0
                                    

بسم الله الر حمن الر حيم

"Jangan menghukum kesempatan dengan penantian, karena terkadang melepaskan sesuatu justru memperoleh yang terbaik."
- Tere Liye -

================================
Saat kamu lelah menanti bunga tumbuh. Belajarlah pada keyakinan yang utuh, bahwa air yang kau siram pada sebuah pot akan menumbuhkan bunga pada pot yang sama.
================================

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi wallahu waliyu taufiq." ujar Azril dalam satu tarikan napas.

(Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah).

"Bagaimana para saksi?"

Serempak semua yang ada di ruangan mengatakan, "SAH..."

Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin, barakallahu laka wa baraka alayka wa jama'a baynakuma fii khayr... Aamiin

Bunda tak kuasa menahan air mata, ia sangat bahagia melihat putranya kini sudah menemukan pendamping hidup. Seseorang yang telah menyempurnakan separuh agamanya, yang akan menemani sisa hidupnya di dunia dan membawanya ke surga.

Aku memejamkan mata sekian detik, membiarkan jantung ini terus berdetak. Semua terasa seperti mimpi, menikahi seorang putri yang bukan pujaan hati.

Dengan bismillah, aku melangkah. Ketika master of ceremony memberi instruksi untuk menjemput sang istri.

Ku ketuk pintu kamar yang sudah dihias sedemikian cantiknya. Aku harus menunggu beberapa menit, tanpa sadar aku terkekeh mendengar perdebatan Zahra dan sahabatnya.

Sampai akhirnya, pintu itu terbuka. Menampilkan sesosok bidadari tanpa sayap, yang sudah halal untuk selalu ku tatap.

Sangat cantik,
Dua kata itu kesan pertama aku melihatnya mengenakan gaun serba putih, senada dengan cadarnya.

Ia masih saja menunduk, membuatku takut mahkotanya itu jatuh. Spontan tanganku memegang dagunya, mengangkatnya perlahan agar ia juga menatapku.

Tak peduli dengan seisi ruangan yang sudah mulai riuh, kata sosweet dan sebagainya saling bersahutan.

Tatapan pertama yang lebih dari lima detik, memompa cepat jantung ini berdetak. Ku lihat ia mulai menyipitkan matanya, menandakan ia sedang tersenyum bahagia. Aku pun membalasnya dengan senyuman terbaik.

Rupanya MC sudah tak sabar, ia memotong adegan yang sangat ku suka. Ia memerintahkan Zahra untuk mencium tanganku, namun sepertinya Zahra masih ragu.

Ku ulurkan tangan, agar ia mau menggenggam. Namun, ia masih membiarkannya bertepuk sebelah tangan di udara.

"Ayo Zahra, sudah halal..." ujar bridesmaid yang dapat ku tebak ia adalah sahabat Zahra.

Perlahan tapi pasti, lengan itupun meraih lenganku. Menciumnya dengan takzim, sampai aku merasakan ada air yang berjatuhan.

Ya Tuhan dia sampai meneteskan air matanya, aku berjanji takkan membiarkan ia menangis kecuali karena bahagia.

Setelah itu, ku usap air mata yang tersisa. Ku cium keningnya amat dalam, entah mengapa aku merasakan kata tenteram.

Lagi dan lagi MC menghentikan berbagai adegan yang ku suka, memberi arahan untuk segera membawanya ke atas pelaminan.

MaasyaAllah, kini aku tak kalah dengan truk yang bergandengan. Ku tapaki karpet merah bersamanya, berjalan berdua ternyata lebih bahagia.

[TERBIT] Gapailah Cita Sebelum Cinta [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang