6.

5.7K 572 7
                                    

Yibo tersenyum mendengar ucapan kekasih tercintanya itu. Dia pun mengeratkan pelukannya pada kekasihnya dan mengecup puncuk kepalanya dengan lembut.

"Ini salahku, aku yang harusnya minta maaf. Aku mengabaikanmu seharian. Aku bahkan tidak mengecek ponselku, padahal kau menghubungiku berulang-ulang kali. Aku lupa bahwa cemilan di rumah habis dan kau pasti lapar. Maafkan aku bunny".

Xiao zhan masih membenamkan wajahnya dalam dada bidang kekasihnya.

"Lepaskan aku wang yibo. Aku terus menyakitimu". Ucapnya lirih. Sebenarnya dia juga sangat tidak ingin jika terus melukai wang yibo. Dia juga tidak bisa menyangkal perasaannya yang mencintai pria tampan ini.
Wang yibo menggeleng mendengar pernyataan kekasihnya.

"Tidak! Bahkan sampai mati pun, kau tetap milikku dan aku tetap milikmu. Aku melakukan banyak kesalahan padamu. Sangat banyak. Bahkan dengan bodohnya aku yang tidak mengenalmu saat kita sudah dewasa. Mungkin maafku tidak cukup untuk mengembalikan hidupmu. Maafkan aku sean xiao".

Zhan tersenyum mendengar nama itu. Dia pun baru menyadarinya beberapa hari yang lalu saat melihat foto wang yibo yang masih bocah. Walau begitu dia tidak ingin menyalahkannya atas semua yang sudah terjadi padanya di masa lalu.

"Aku mengingatmu". Ucap zhan yang membuat wang yibo merenggangkan pelukannya dan menatap wajah kekasihnya.
"Kau ingat?". Tanyanya penasaran.

Zhan mengangguk. "Aku melihat fotomu. Kau anak yang waktu itu. Anak yang hendak bunuh diri dan………" zhan tidak lagi melanjutkan kalimatnya.
Yibo kembali mendekapnya seerat mungkin. Seakan-akan jika di lepas sedikit saja zhan akan menghilang dari hadapannya.

"Maafkan aku…sungguh…aku menyesal saat itu".

----------------------*---------------------
12 tahun yang lalu

Anak kecil itu berlari-lari kecil menghampiri jempatan yang tinggi itu. Aliran sungai dibawahnya terdengar jelas. Siapapun yang melompat kebawah tidak di jamin dia akan selamat.

"Hei, mau bunuh diri?". Tanyanya pada seorang anak yanh seumuran dengannya. Anak itu kini tenga berada di atas jembatan itu. Berdiri di antara besi pembatas, jika kakinya maju sedikit lagi, dia akan terjun bebas ke bawah. Bocah itu menoleh dan menatap arah suara itu. Wajah dingin tanpa ekrspresinya tak membuat bocah manis itu takut sedikitpun. Bocah manis itu malah tersenyum padanya.

"Siapa kau? Jangan ikut campur!! Pergi!!". Bentak bocah yang dingin itu. Namun bukannya mundur si anak manis ini semakin mendekat.

"Jangan bunuh diri. Aku tau hidup ini sulit. Tapi setidaknya kau masih beruntung. Lihat pakaianmu bagus". Ucap anak itu sambil menunjukkan baju berkilauan yang di pake bocah dingin itu. "Kau pasti orang kaya kan?". Lanjutnya lagi. "Kau tau? Kemarin adalah ulang tahunku yang ke-11 dan hari itu juga adalah hari dimana orang tuaku meninggal satu tahun yang lalu". Dia mencoba tersenyum lalu kembali menghela nafasnya. Rasa pahit dan sakit meninggalkan jejak di hatinya sangat dalam. Hingga sangat sulit baginya untuk mengeluarkannya.
"Kau tau? Semua orang menyalahkanku atas kematian orang tuaku".

Bocah dingin yang masih berdiri di atas pagar jembatan itu kini melompat turun dan menghadap bocah manis di hadapannya. Sambil mengerutkan keningnya dia bertanya.

"Kenapa?".

Bocah manis itu tersenyum kecil. "Entalah. Hari itu hari ulang tahunku. Ibu dan ayahku sedang dalam perjalanan pulang dari kantor. Ibu menelfonku dan aku memintanya membelikan kue stroberry kesukaanku di toko kue yang biasa ku datangi. Ibuku mengatakan kalau dia cukup lelah. Dia sudah membeliku hadiah, tapi aku terus merengek, memintanya membelikan kue itu untukku. Jarak toko itu dan tempat kerja orang tuaku berlawanan. Tapi karena keinginanku, mereka akhirnya pergi kesana, sebelum sampai di sana jembatan yang mereka lalui rubuh. Dan kedua orang tuaku termaksud orang yang tak selamat dalam kecelakaan itu". Mata anak itu berkaca-kaca tapi dia tak mengeluarkan setetes bening itu. Dia masih bisa tersenyum bahkan menunjukkan gigi kelincinya.
"Kau tau? Semua orang tak terima atas kecelakaan yang menimpa orang tuaku, dan aku yang di salahkan. Memang aku yang menyebabkannya. Kau juga berpikir seperti itu kan?".
bocah dingin di hadapannya ini masih terdiam. Tak ada niatan baginya untuk menjawab.

Kau Tanggung Jawabku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang