Senang mengenalmu Caca.
Itu bunyi pesan terakhirnya.
Hari ini tepat satu minggu sejak pesan terakhir itu kuterima dan sampai sekarang belum ada satu pesan singkat pun darinya. Sama sekali tidak ada.
Sebenarnya, ini hal yang lumrah. Sebelumnya dia hanya salah kirim pesan, lalu setelah tahu aku bukan orang yang dia maksud dan dia sudah memastikan siapa aku—yang pasti untuk berjaga-jaga kalau saja nanti informasi dari pesan salah kirimnya itu tersebar dia tinggal mendatangiku—dia berhenti menghubungiku.
Benar sekali, tapi kalau memang cuma buat itu, kenapa kemarin Rian menawariku pertemanan?
Sekarang aku cuma bisa menertawai diriku yang seolah merasa kehilangan. Sialan sekali. Sepertinya soal mencoba berharap kemarin itu bukan cuma bercandaan hatiku saja. Sepertinya aku benar-benar berharap pada Rian-Rian ini. Sekarang dia tidak muncul lagi, baru aku menyadari harapanku itu nyata. Saat bentuknya sudah ambruk.
Apa aku harus mengirimnya pesan? Pertanyaan itu konyol sekali, tapi aku tidak langsung mengenyahkannya. Kalau aku mengirim pesan, lalu apa? Bilang aku mau berteman dengannya? Lalu kami saling mengenal dan bertemu? Setelah itu apa? Aku bilang padanya aku berharap kami bisa ... dekat?
Oke, Ca, sebaiknya kamu tidak ceroboh begini!
"Beb, lemes amat." Iza baru datang dan menyapaku sambil duduk ke kubikelnya.
Aku menatapnya yang pagi ini berpenampilan segar seperti biasa. "Semalem koordinasi sama panitia job fair sampai malam. Slow respon banget panitianya," balasku berbohong sambil membersihkan mejaku dari debu.
"Ututu. Sibuk lah pasti. Tapi udah beres?"
"Udah lah. Tian nggak bakal adem ayem aja di ruangannya kalau ini belum beres."
Iza tergelak. "Pencak silat di depan lo, maksudnya?"
"Nggak pencak silat lagi. Kata Oli, minggu kemarin dia daftar kelas zumba."
"Anying!" Iza menyemburkan tawanya. "Kudu banget lo nyusup ke kelasnya, fotoin Tian yang pakai ikat kepala kayak orang sinting."
***
Aku berusaha sangat fokus pada persiapan job fair minggu depan. Tian selalu menekankan booth perusahaan kami harus paling menarik dan selalu ramai oleh para jobseeker maupun headhunter. Tentu saja, job fair juga adalah ajang untuk mempopulerkan brand perusahaan. Dan aku menjadi pihak yang paling ditekan Tian untuk mewujudkan itu.
"Lagi ngerjain apa, Ca?" Tian tiba-tiba muncul dengan tampang serius di depan kubikelku.
Dia ini sepertinya memang punya kebiasaan muncul begitu dipikirkan. "Barusan nge-fixed goodie bags buat job fair minggu depan, Pak."
"Ke ruangan saya bentar!"
Aku mengangguk lalu berdiri dan mengikutinya masuk ke ruangan. Ia duduk di bangkunya. "Duduk, Ca!"
Tumben disuruh duduk, cetusku dalam hati. Aku menurut dan duduk. Tian mengamati layar komputernya sesaat. Beberapa saat selanjutnya ia mengetikkan sesuatu di keyboard, membuatku terbengong menunggu, dan setelah itu baru ia mulai berkata, "Dianta hubungi saya tadi, kandidat yang kamu ajukan nggak ada yang cocok. Hubungi Ikhsan aja kalau kamu nggak sanggup."
Mataku membelalak. "Maaf, Pak?" Aku tidak salah dengar kan? Dia baru saja bilang 'nggak sanggup'? Ini Tian mengataiku?
Tian kini menatapku. "Kandidat kamu nggak ada yang cocok. Kamu ngerti, Dianta punya standar tinggi buat menilai para bawahannya—"
"Maksud Pak Tian standar penilaian saya jauh dari Bu Dianta?" Aku tidak bisa menahan keherananku. Bahkan aku tidak sadar memotong kalimatnya. Tian mengernyit. "Maaf, ya, Pak, tapi tiga kandidat yang saya ajukan itu udah sesuai kualifikasi dan syarat dari Bu Dianta. Sepertinya kita nggak perlu headhunter buat kali ini, Pak."
"Tapi dari ketiganya nggak ada yang sesuai dengan yang dicari Dianta," bantahnya.
"Dia cari yang sempurna?" Aku melepas nada sengakku. Aku benar-benar ingin nyinyir di depan Tian. Aku merasa, mentang-mentang Dianta punya posisi spesial untuknya, sekarang Tian menekanku dengan alasan tidak masuk akal.
"Easy, Ca. Lo nggak harus selalu mendapat kandidat yang tepat, lo juga manusia. Minta bantuan pihak lain nggak ada salahnya," tukasnya menyebalkan. Ia bahkan ikut melepaskan sikap kakunya hanya untuk makin merendahkanku. "Toh emang sewajarnya lo kerja sama dengan headhunter buat cari rekrutan, kok."
"Tapi menurut saya itu sekarang belum perlu aja, Pak."
"Ca. Menurut kamu berapa total penjualan kita enam bulan ke depan? Berapa pengeluaran kita buat produksi tiga tahun ke depan?" tukas Tian cepat. Aku terdiam. "Kalau semua cuma mengikuti menurut kamu, perusahaan ini nggak butuh komisaris, top management, atau departemen lain, semuanya aja menurut kamu." Aku terdiam. "Keputusan itu pasti juga ada alasannya, coba kamu berpikir dari situ. Nanti yang bekerja lama dengan akuntan itu kan Dianta, dia yang lebih tahu kebutuhan timnya. Kok kamu harus dikasih tahu lagi sih hal kayak gini?"
Kuhela napas. Tian benar. Kali ini mungkin aku sedang sensitif, makanya omongan Tian kutanggapi dengan tak enak. "Saya udah sanggupi itu dan saya sudah kerjakan dengan sesuai, tapi sepertinya Bu Dianta menuntut kandidat yang sempurna, fine, saya cari lagi."
"Lakukan aja yang saya suruh. Kalau Dianta menolak semua kandidat kamu itu berarti memang ada yang nggak sesuai kualifikasi," decaknya. "Kamu nggak usah baper. Profesional aja."
Baper? Aku membela hasil pekerjaanku itu dikatai baper? Kutegakkan tubuh dan menahan kejengkelanku. "Baik. Saya permisi, Pak."
"Satu lagi, Ca. Sebelum orang lain yang negur, gue mau kasih lo saran. Jangan sibuk sama HP mulu!"
***
"Ca, nggak makan dulu?" Setia bangkit dari kubikelnya dan menghampiriku.
Memang hanya tersisa kami di lantai ini. Ouh, dan Tian.
"Gue mau keluar, titip beli makan nggak?"
"Nggak deh, Mas. Bekal gue masih ada, kok." Aku lupa kalau membawa bekal dan malah mengiyakan ajakan Niken makan sushi saat makan siang tadi.
"Yaudah, makan dulu lah! Udah hampir malam, nih."
Aku melirik sekilas Hublot di tangan. "Iya nih. Thank you, Pak husband," kekehku menggodanya.
Kubuka roomchat-ku dengan Rian setelah Setia pergi. Sama dengan sebelumnya, masih tidak ada pesan baru. Kupandangi layar HP ku dengan rasa bingung, juga bertanya. Kenapa sekarang aku ingin marah karena lelaki ini menghilang?
Dan sepertinya baru pagi tadi aku melarang diriku untuk tidak ceroboh, tapi malam ini aku sudah melupakan nasihat diri sendiri itu.
Rian, sedang sibuk?
Aku mengirim pesan itu begitu saja.
It's okay, Ca. Mengirim pesan pertama bukan berarti kamu cewek agresif. Kamu adalah cewek yang punya inisiatif.
Meski entah, inisiatifmu ini pada tempat yang benar atau salah.
"Ehm, Ca ...." Aku langsung melempar ponselku ke meja dan pura-pura mengetik.
KAMU SEDANG MEMBACA
456
Roman d'amourCarita, seorang penyintas kekerasan seksual ingin terbebas dari luka masa lalunya setelah delapan tahun mencoba untuk sembuh. Akankah keinginan Carita dapat segera terwujud dengan ia mengizinkan Pradna membantunya? **** Carita adalah seorang recrui...
Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi