Chapter 3 : Rekan Sesama Model

134 11 1
                                    

Aira mengecek kembali penampilannya, ia ikat rambut model blondenya lalu menyisakan sedikit rambut di bagian depan, lalu merapatkan bibirnya untuk merapikan lipstik berwarna nude yang baru saja dioleskannya. Tak lupa juga membenahi atasan model sabrina berwarna milo yang dipadukan dengan kulot selutut bermotif garis warna milo mix hitam yang membalut tubuh seksinya.

Ia tarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke dalam kafe, lalu menghembuskan secara perlahan untuk mengatur irama detak jantungnya yang tak beraturan setiap kali akan bertemu dengan Deanova.

"Masih pukul 9, Deanova pasti masih ada di dalam," gumam hati Aira sambil melangkahkan kaki melewati security yang menyapanya ramah.

"Mas saya ingin bertemu dengan Pak Deanova, bisa dipanggilkan sebentar?" Tanya Aira ramah pada karyawan pria yang sedang berjalan melewatinya.

"Maaf Mbak, baru saja Pak Deanova pulang," jawab karyawan pria tersebut dengan ramah, karyawan pria itu tahu jika Aira adalah salah satu pelanggan setia DAS Caffee.

"Pulang? Mas bisa kasih nomor telepon atau alamatnya Pak Deanova?" tanya Aira lagi masih dengan ekspresi terkejut, ternyata benar Deanova adalah pemilik DAS Caffee ini.

"Maaf Mbak, Pak Deanova sudah berpesan agar tidak memberikan alamat atau nomor telepon pada siapa pun tanpa seizinnya," terang karyawan pria tersebut lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.

Mood Aira seketika hancur bersamaan dengan hatinya yang terasa sesak, pria idamannya sudah pergi sebelum ia berhasil meluluhkan hati pria dingin itu.

"Begini amat nasib cintaku," desis Aira dengan bahu meluruh lalu dengan tidak bersemangat meninggalkan kafe tersebut.

Sambil mendengarkan musik di dalam mobilnya Aira berusaha mencari petunjuk keberadaan Deanova hingga tanpa sadar mobil yang dikendarainya berhenti di depan Panti Asuhan Kasih Bunda, panti di mana selama ini Gita tinggal sejak orang tuanya meninggalkannya di depan pintu panti asuhan tersebut saat usianya baru 2 minggu setelah dilahirkan. Senyuman Aira seketika merekah saat langkah kakinya menuju gerbang samping panti yang menghubungkan langsung ke dalam aula panti, ia melihat beberapa anak panti yang sudah dewasa sedang mengajari anak panti membaca dan menulis, mereka tampak antusias memperhatikan Fitri, kakak panti yang sedang mengajar tersebut.

Tentu saja usia Fitri masih 17 tahun, namun sifatnya jauh lebih dewasa dibandingkan dengan remaja seusianya yang masih suka bermain-main. Setiap libur sekolah Fitri membantu mengajari adik-adiknya yang masih kecil untuk belajar mengenal huruf dan warna. Di panti ini anak-anak akan mulai bersekolah umum saat usia 7 tahun atau saat memasuki tingkat SD, semua biaya kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak panti berasal dari para donatur tetap, ditambah lagi hasil dari penjualan kerajinan tangan hasil anak panti yang diperjualbelikan. Panti ini semakin berkembang semenjak diambil alih oleh keluarga Alfarizi dan Ardan sebagai pemilik resmi panti asuhan tersebut.

Aira duduk bersila di sudut aula sembari memperhatikan anak-anak panti berusia 4-6 tahun yang sedang asyik belajar sambil bernyanyi, tak pelak tingkah lucu anak-anak itu berhasil membuat Aira berulangkali tertawa. Tempat ternyaman di saat perasaannya dilanda kegalauan, di panti ini Aira banyak belajar tentang arti bersyukur tentang nikmat yang Allah berikan padanya. Ia memiliki semuanya dengan sempurna, berbanding terbalik dengan nasib para anak panti tersebut. Ia masih memiliki orang tua yang lengkap meskipun bukan ayah kandung tapi Hendra sangat menyanyanginya, saudara, serta sahabat yang selalu ada di sisinya dalam keadaan apa pun. Di panti ini Aira juga belajar bagaimana cara menghargai sebuah hubungan.

Hubungan terjalin tidak hanya karena hubungan darah semata melainkan hubungan yang terjalin karena rasa saling menyanyangi dan menghormati satu sama lain. Hubungan yang hanya ingin memberi dengan tulus tanpa mengharap pamrih.

Unpredictable LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang