Chapter 6 : DAS Caffe

128 5 9
                                    

"Aisyah awasi adik kamu, klo dia ketahuan sama cowok kamu lapor sama Papa," ucap Hendra yang seketika membuat bibir Aira menyebik kesal. Namun ia lebih memilih diam agar tidak sampai keceplosan menceritakan tentang Deanova. Jika itu sampai terjadi, bubar sudah kariernya.

"Siap Pa!" balas Aisyah dengan tergelak, ekor matanya memperhatikan ekspresi Aira yang terlihat gusar.

Dua hari adalah waktu yang singkat untuk mereka berkumpul. Jadi malam itu mereka benar-benar memanfaatkan waktu bersama sebelum besok sore Hendra dan Marissa harus kembali ke Jakarta. Pukul 10 malam Aira hendak pamit pulang ke rumahnya. Namun Marissa melarang dan sekarang Aira sedang berada di atas ranjang bersama Marissa sedangkan Hendra tidur di kamar baby Azka, cucunya.

Tik ... tak ... tik ... tak ... Denting jam dinding di kamar seolah mengejek Aira yang masih saja terjaga. Terdengar helaan napas kasar, Aira menatap langit-langit kamar bermotif abstrak itu dengan kesal, ia pukul kepalanya pelan untuk mengenyahkan otaknya yang menolak berhenti memikirkan Deanova, bukan karena ia jatuh cinta tetapi rasa malu yang justru membayanginya. Seandainya saja ada obat amnesia maka Aira pasti akan membelinya ke apotek dan memberikannya pada Deanova agar semua ingatan pria itu tentang mereka hilang.

Ia pegang pipinya dengan kedua tangan saat iba-tiba terasa panas, bayangan ketika Deanova memakaikan baju untuknya. Lalu ditambah lagi saat bibirnya dengan lancang membeberkan fakta semua tentang dirinya saat berada di pantai. Aira tak bisa membayangkan penilaian Deanova tentang dirinya sekarang.

"Besok aku akan menemuinya untuk terakhir kali," dengung hati Aira sembari memaksa matanya untuk terpejam.

"Ra, kamu kan cuma ada 1 kelas, kita berangkat kuliah bareng aja. Papa dan Mama ngajakin jalan, pengen keliling Malioboro," ucap Aisyah saat mereka sedang sarapan bersama.

"Terserah Mbak Aisyah aja," balas Aira tak bersemangat, rencana untuk menemui Deanova sudah pasti gagal.

"Oya Ra, apa kamu nggak bawa baju ganti yang lain? Tuh baju kekecilan gitu," tegur Hendra karena melihat pakaian Aira yang terlalu seksi.

"Cuma bawa 1 ini aja Pa. Aku bawa blazer kok Pa, tenang aja," balas Aira santai yang seketika membuat kepala Hendra dan Marissa menggeleng bersama.

Setelah sarapan mereka berangkat ke kampus bersama dan meninggalkan Baby Azka di rumah bersama Marissa dan Hendra. Urusan pekerjaan rumah sudah ada ART dan sopir Aisyah. Jadi Ardan tenang meninggalkan kedua mertuanya di rumah selama dirinya mengajar.

Dengan gontai Aira ke luar dari kelasnya lalu berjalan menuju parkiran dosen, ia memilih menunggu Ardan dan Aisyah di parkiran saja. Mood_nya hari ini benar-benar kacau. Ia hanya ingin menemui Deanova agar pikirannya tenang lalu melanjutkan hidup tanpa kenangan abstrak bersama pria tampan itu. Tapi keinginannya jelas tidak akan terpenuhi.

Tak lama dari kejauhan Ardan dan Aisyah datang bersama. Senyuman keduanya merekah di sela obrolan. Ardan menggandeng mesra tangan Aisyah seperti biasa, adegan mesra itu berhasil mencubit hati kecil Aira, kadang terselip rasa cemburu yang Aira rasakan, tak mudah memang melupakan cinta pertamanya.

"Sadar Aira, sadar..," peringat hati Aira dengan cepat sebelum pikirannya bertambah rusuh.

Ardan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang hingga sampai di pelataran rumahnya. Mereka disambut Baby Azka yang sedang berjalan dengan tertatih-tatih di teras rumah bersama nenek dan kakeknya.

"Ayah ...," panggil Baby Azka sembari berjalan ke arah Ardan dengan kedua tangan terulur.

"Anak Ayah lagi main apa Sayang?" tanya Ardan dengan menghujani kecupan di pipi chubby Baby Azka.

Unpredictable LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang