🌱🌱🌱
Entah kenapa setelah mendapatkan jawaban dari ilusi yg dia ciptakan sendiri, Jin melihat Arang menjadi lebih berbeda. Seperti sekarang, istrinya sedang terlelap di atas lengannya setelah aktifitas sore yg mulai akan dia biasakan. Arang cantik, dari dulu. Tidak pernah Jin memungkiri hal itu. Tapi sekarang istrinya itu jauh lebih menawan, tidak ada takarannya sama sekali. Bersinar, apalagi dengan temaran lampu kristal yg berada di atas mereka. Istrinya terlalu menyilaukan, tapi Jin suka.
Laki-laki itu tiba-tiba teringat kejadian tadi saat Arang berubah menjadi si kejam saat meladeni kegilaan adik kakak Hyuna dan Jay.
"Berhenti tersenyum," gumam Arang. Perempuan itu membuka sebelah matanya, lalu menutup mulut suaminya yg lebar. "Aku lelah," lanjutnya.
Jin mengelus kening istrinya yg berkeringat lalu mengecupnya.
"Kita ke kamar. Kau bisa beristirahat lebih," jawab Jin.
"Lalu kau?"
"Aku harus mengunjugi Ayah."
Kedua mata Arang membuka lebar. "Kau pulang?" Arang memastikan, karena suaminya itu sudah lama tidak kembali ke rumah utama sejak memutuskan untuk menikahinya. Berita bagus dan membuatnya lega jika Jin bersedia menengok sang mertua.
"Tidak. Kami bertemu di restaurant hotel. Ayo." Jin bangkit, menyelipkan tangannya di bawah lutut dan juga punggung atas Arang. Menggendong istrinya dan memencet tombol buka pintu ruang tamu dengan kakinya. Sopan sekali.
Di dapur terlihat Bibi Lim yg langsung berlari menghampiri.
"Nona sakit?" Tanyanya panik.
Arang memutar bola mata. "Iya sakit. Sakit sekali," jawabnya gemas dengan kedua mata menunjuk pada bagian tengah tubuhnya.
Bibi Lim menampilkan cengiran dan memukul kening Arang dengan sodet kayu di tangannya. "Astaga, kau ini. Jadi masih berlanjut?" Godanya.
"Siapkan saja makan malam untuknya. Bawa ke atas. Aku akan pergi," perintah Jin.
"Aku bisa membuatkan sup toge untukmu, Tuan" kata Bibi Lim.
"Tidak perlu. Aku akan makan di luar. Siapkan saja untuk Arang." Lalu Jin menaiki tangga dengan Arang yg terlihat memainkan kaki-kakinya yg digendong Jin.
"Kupikir sebentar lagi akan ada tangis bayi," gumam Bibi Lim smabil kembali ke dapur.
Di kamar, Jin meletakkan Arang di ranjang dan akan bangkit saat Arang menahannya.
"Kau akan baik-baik saja, kan?" tanyanya bernada khawatir.
Jin menaikkan sebelah alisnya. "Tentu saja. Aku bertemu Ayahku sendiri, bukan klien yg berpotensi merubuhkan kerajaan bisnisku," canda Jin.
Arang berdecak dan menutup seluruh tubuhnya ke dalam selimut lalu berkata. "Ya sudah. Tidak akan lagi mengkhawatirkanmu. Pergi sana."
Jin menggeleng tidak percaya. Ada apa dengan istrinya yang dulu jarang berbicara. Dan ada apa dengan nada merajuk itu? Ya ampun, Jin jadi gemas dan tidak berniat untuk menemui sang Ayah jika Arang masih bersikap selucu itu. Tapi, telepon yg masuk ke handphone-nya tak bisa mengabulkan keinginannya.
"Ya. Aku segera kesana." Klik. Telepon dimatikan. Jin naik ke atas ranjang. Menarik selimut istrinya hingga menampilkan wajah datar kemerahan istrinya karena kepanasan di dalam selimut. Ditangkupnya pipi Arang dengan telapak besarnya lalu dicium lembut bibir tipis kemerahmudaan beraroma mawar milik Arang. Lama kelamaan Jin mendorong Arang hingga berbaring. Ditindihnya istrinya itu, memerdalam ciuman dan sesekali menggigit bibir bawah Arang agar semakin terbuka dan membuatnya leluasa menjelah.
Arang gelagapan, hampir kehabisan napas. Ini terlalu lama, mereka bisa berakhir dengan saling membuka baju. Tidak tidak. Dia tidak siap. Dia kelelahan, bahkan untuk menggeser kakinya seinci pun tidak bisa. Dipukulnya punggung lebar Jin sebagai peringatan.
Wajah merah dan penuh hasratlah yg dilihat Arang begitu pagutan itu terlepas.
"Aku bisa mati," kata Arang.
"Kita bisa mati berdua kalau begitu." Jin menunduk, hendak melanjutkan ciumannya.
"Tunggu-tunggu. Astaga, Jin. Kau, kan harus menemui Ayahmu. Cepat siap-siap."
"Kecup saja kalau begitu."
"Tidak." Arang menutup mulutnya dan menggeleng berlebihan. "Sekecupmu itu satu jam, aku benar-benar bisa mati kehabisan napas dan kau terlambat ke pertemuan."
"Satu jam hanya dapat kecupan?" Jin tertawa dan bangkit. Laki-laki itu menghilang ke kamar mandi kemudian masuk ke dalam kloset baju. Beberapa menit kemudian keluar dari ruangan itu sambil membawa dua buah dasi.
Arang mendongak kemudian bangkit. Bergerak ke pinggir ranjang, menumpukan kakinya pada lutut dan menyahut dua buah dasi dari tangan suaminya. Mencoba menyelaraskan keduanya dengan kemeja putih dan juga jas hitam yg dipakai Jin.
"Ini saja." Dipilihnya dasi berwarna merah darah dan menyimpulkannya di kerah kemeja Jin. "Tampan sekali. Kupikir Ayahmu akan menjodohkanmu," celetuk Arang santai sambil mengelus dasi yg tersimpul di kemeja Jin.
"Jangan bercanda. Aku bukan anak berumur tujuh belaa tahun lagi. Sudah telat sekali menjodohkanku. Lagipula kalau aku djodohkan, wanita itu harus berurusan dengan serigala yg selalu kelaparan. Pasti kewalahan," jawab Jin.
Tak disangka candaannya itu, membuatnya mendapat gigitan di telapak tangannya. Cap gigi Arang menancap dalam di kulit tangannya. Jin tertawa, mengelus bibir istrinya.
"Mesum. Maniak seks. Penjahat kelamin." umpat Arang.
"Dan hanya si gadis bertudung merah yg mampu mengatasi kelaparan sang serigala. Dan itu hanya kau," kata Jin.
Arang memutar bola matanya. "Terserah saja."
"Aku akan segera pulang." Jin menarik kepala Arang dan mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. Lalu berjongkok, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Arang. "Kau cantik sekali. Kuharap kau selalu berada disisi laki-laki buruk rupa sepertiku," lanjutnya.
"Hukumanku seumur hidupkan? Apa yg bisa kulakukan."
"Tahanan terkasihku." Lalu Jin keluar dari kamar, meninggalkan Arang dengan keganjalan yg semakin terasa saat Jin menutup pintu kamar.
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Prisoner Of Jin
Fanfiction"You deserve someone who to knows how to make things up to you after hurting you. Not someone who is very good with just the word 'sorry'." -unknown author - 🔐PRISONER OF JIN🔐 Kim Seok Jin as Himself Everybody who biased Jin is Na Arang Angst - Dr...