Air mata pertamaku

172 20 10
                                    

Katanya, "Anak adalah satu-satunya anugerah terindah yang pernah ada di dunia" tapi nampaknya itu hanya sebatas "katanya".

"Haamiil?." teriak nenekku dengan tumpahan air mata yang tak dapat dibendung.

Wanita setengah baya itu langsung menubruk tubuh ibuku, merengkuhnya, serta mengelus permukaan perutnya dengan jari bergeletar. Wajahnya yang keriput terlihat semakin berkerut. Keningnya mengernyit. Air mukanya merah padam mirip dengan kue pai yang terpanggang suhu 180°C di dalam oven. Dan sekali lagi wanita yang sudah menyembulkan beberapa uban pada kulit kepalanya itu kembali membuat ulah.

Jantung ibuku berlompatan tak karuan. Ia menggebrekkan kedua telapak tangannya keras-keras di atas meja usang yang permukaannya sudah keropos dengan kotoran rayap disana-sini. Tak cukup sampai disitu telapak tangan yang sudah mengendur di makan usia itu pun masih ia pukul-pukulkan lagi pada kedua otot pahanya yang sudah meringkih. Katup emosi menelannya bulat-bulat. Setan telah berhasil menyenggamai pikiran dan mata hatinya. Kembali dan kembali ia memuntahkan amarahnya. Kali ini lantai porselin kecokelatan itu yang menjadi sasaran tembaknya. Tanpa peduli kenyerian yang berselancar pada otot-otot tangannya nenekku terus memukulkan kedua tangannya dengan keras, teramat keras malah sampai-sampai tubuhku yang masih sebesar biji tembikai menggelinjang kaget. Tubuh kecilku bergetar. Di sudut endometrium ibuku jiwaku terguncang. Blastocyst ini tak kuasa. Air mataku tertitih jatuh.

"Bagaimana bisa kamu hamil Nduk?. Anak-anakmu masih bayi-bayi semua Nduk. Kamu ndak lihat Dimas masih umur tiga setengah tahun dan Syifa anak perempuanmu itu, lihat dia Nduk!, tidurnya saja masih di atas keongan. Kamu ndak kasihan sama mereka. Lalu bagaimana kata orang nanti?. Mau ditaruh dimana muka keluarga kita nanti?. Empat tahun masa lahiran tiga kali. Isin Nduk, isin. Makanya kalau anak masih kecil-kecil itu nyadar diri Nduk. Kalau sudah begini siapa yang repot, siapa?. Ibu ndak mau tahu gugurkan kandungan itu!. Gugurkan!."

Braakk!!!.
Meja usang itu kembali terhentak dengan kasarnya. Nenekku menikamkan pandangan yang sangat belati pada ibuku. Jari telunjuknya mengarah pada mata ibuku serupa ujung tombak yang siap mengoyak tubuh lawan di area gladiator. Kuusap bening air mataku yang merembes jatuh membasahi pipi. Aku kembali mengaitkan tangan kecilku pada endometrium ibuku. Erat sekali aku memeluk kantong yang serupa balon tipis itu. Berharap tidak bisa lepas, berharap aku terus menempel di tempat itu sampai wangi dunia itu dapat kuhirup tapi apakah sebulir impian itu dapat terwujud?.
Mereka tak menginginkan kehadiranku, tidak sama sekali.

Ibuku tak banyak bicara. Air matanya saja yang terus berguguran jatuh. Ia sampai sesenggukan. Aku bisa mendengar bagaimana tercekatnya napasnya kala itu. Aku pun juga turut terkena imbasnya. Perut ibuku mengalami kram. Tubuhku terguncang kesana-kemari. Kenyerian menggigiti tubuh mungilku. Nyeri sekali. Ibuku dengan wajah sayunya menatap nanar pada kedua kakakku yang tengah tertidur lelap. Kakak jagoanku masih berusia tiga setengah tahun. Sementara Kakak 'tinkerbell'-ku masih berusia satu setengah tahun. Kakak perempuanku ini mempunyai kebiasaan tidur aneh dengan tidur duduk di atas baby walker dengan diganjal sebuah bantal di bagian bawah sebagai penopang kakinya. Ya, kaki yang baru enam bulan ini dapat ia gunakan untuk berjalan. Botol susunya harus diganjal dengan kain selendang yang dilipat sejajar dengan mulut tipisnya. Tak cukup sampai disitu ibuku harus mendorong baby walker itu mengelilingi seisi rumah demi untuk menidurkan kakakku. Ibuku harus melakukan hal yang sama setiap kali kakakku terjaga, mendorong baby walker itu dengan berselimut kantuk dan rasa letih yang tak dapat dibendung. Parahnya lagi kedua kakakku ini baru bisa memejamkan mata jika waktu sudah menginjak tengah malam antara jam dua belas sampai jam tiga dini hari. Kawan, bisa kalian bayangkan betapa repotnya kedua orang tuaku jika aku tiba-tiba hadir di tengah-tengah mereka?. Pantas saja kehadiranku amatlah ditentang serupa hama yang harus dibasmi habis sampai ke akar-akarnya.

"Kenapa harus digugurkan toh yang merawat nanti juga kita-kita sendiri?. Orang itu bisanya memang hanya menggunjing." sahut ibuku lirih masih dengan isak tangis yang membanjiri pipi.

"Benar yang merawat nanti memang kita nantinya tapi kamu pikir Nduk, pikir!. Bagaimana tumbuh kembang Syifa dan Dimas nantinya?. Kasih sayang dan perhatian mereka nantinya pasti akan terbagi. Semua akan menjadi beban; beban mental, sosial, dan beban finansial. Ingat Nduk!, kita bukan dari kalangan berada. Membesarkan ketiga anak yang semuanya masih kecil-kecil itu bukan perkara mudah Nduk. Lebih baik kita korbankan janin itu daripada mengorbankan kedua anakmu yang sudah jelas masa depannya itu. Gugurkan!. Hanya itu jalan satu-satunya."

Akulah Sang Janin (ASJ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang