Tipuan

19 3 0
                                    

      "Janganlah bersedih karena urusan dunia dan isinya sebab kita hanya bertamu di atas tanahnya."

     Sekali lagi ibuku menghapus cairan bening yang bercucuran di pipinya. Tipuan. Benar kehidupan tak ubahnya sebuah tipuan. Panggung sandiwara bagi mereka yang berdompet tebal. Manipulasi segala rupa untuk menindas yang di bawah. Kong kalikong berbagai cara untuk mendapat tujuan. Meski kadang orang lain menjadi korban dan rakyat menjadi tumbal.

     Kehidupan adalah tipuan. Ribuan macam cara dihalalkan untuk memenangkan nafsu dan ambisi dalam hati. Tak peduli harus makan daging babi ataupun menguliti diri. Walaupun harus membinatang menggadaikan tali kutang. Dan menumpahkan darah menggalang resah.

     Deru suara kereta kian bergemuruh. Dua jam sudah gundah menikam dan menerkam batin ibuku. Dia benar-benar tertipu. Dunia hanya menawarkan keindahan yang ternyata semuanya palsu, ilusi, tak lebih sekadar cerita fiksi segala bumbu yang membuat penghuninya terperdaya.

     Sekejap kemudian tiba-tiba amarah di mata ibuku mengkilat sempurna. Ia menukikkan pandangan belatinya ke arahku. Dan "plaaaak!" pukulan keras mendarat di bokongku yang masih memerah.

     "Monster kecil pembawa sial." hardiknya padaku.

     Aku berusaha menahan gejolak dada yang kian bergemuruh. Meski rasanya ingin memuntahkan cairan bening yang berjejalan menyesaki bola mata.

     Ya, inilah takdirku.

     Dan tiba-tiba sebuah suara melintas sumbang pada gendang telingaku. Menggaung seumpama ribuan lesung yang menumbuk batok kepala. Mengalun-ngalun mengiramakan tandu kematian yang dipikul.

     "Maaf, Mbak Zahra project novel ini tidak cocok untuk ibu hamil jadi dengan sangat terpaksa pihak penerbit membatalkan naskah yang Mbak Zahra tulis." seru editor dengan tubuh menjulang itu seraya memberikan print out naskah yang susah payah ibuku tulis sepanjang malam.

    Mendung menggayut menggulung. Badai menerpa melimbungkan tubuh. Juga sang petir yang tak luput ambil bagian. Memantak mengoyakkan ulu hati.

     "Ini tidak adil. Bukankah Mas sendiri yang mengatakan kalau naskah saya bisa terbit?. Lalu kenapa sekarang Mas membalik lidah karena alasan sepele?. Hamil?. Apa salahnya kalau saya hamil?." kening ibuku mengernyit. Segala rasa tumpah ruah mengaduk-aduk batinnya.

     Senja yang membias sore itu seakan menjadi goresan langit yang tak sempurna di hati ibuku. Hatinya telah berselimut awan kelabu. Sementara waktu yang berdetak tak ubahnya lengkingan petir yang merayu sang bayu turun.

     Penggajalan masalah promosi buku, alasan singkat yang terlontar dari sang script manager.

     Hujan belum sepenuhnya reda. Gemericik airnya menerobos langit-langit mata ibuku.

     Suara kereta kian menderu berbaur dengan suara pedagang asongan menjajakan pandangan. Tak ada sepatah kata pun yang tersurat. Aku pun beku dalam bisuku. Sementara hati terus memilin do'a agar cakar maut tak keburu menjemputku.

     Ibu, betapa aku menyayangimu.

     Jangan kau lenyapkan aku Bu!

     Bila aku tumbuh dewasa nanti akan kubangunkan sebuah redaksi penerbitan untuk Ibu.

     Ibu pasti jadi orang besar.

     Percayalah Bu!. Suatu saat nanti Ibu pasti sanggup mengubah dunia.

     Sepi merangkul. Menghunjam sunyi. Sisi tangan ibuku mengepal kuat. Bara amarah mengalir ritmik ke seluruh pembuluh darahnya.

     Sam, kamu harus merasakan balasan yang setimpal.

     Sekejap kemudian ibuku menukikkan pandangannya ke arahku.
    
     Aku terperangah. Mata kupejamkan rapat. Seluruh tubuhku menegang.

     Tuhan, aku tak ingin mati.

                             *****

Akulah Sang Janin (ASJ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang