Pedih

12 3 0
                                    

     “Jika bahagia sudah tak dapat menyirat dewangga sekiranya hanya do’a yang bisa menjadi penawar luka”

     Kemelut mendung kelabu membumbung tinggi mengekang langit Singapura. Lembayung pilu meletup menyesaki dada Arum. Di luar sana hujan menyerpih-nyerpih. Si nyonya besar dengan angkuhnya masih setia dengan kipas tangan motif batiknya meski cuaca tengah tak bersahabat seperti ini. Dandanannya pun tak berubah sedikit pun dari tatanan adat Jawa tulen. Sanggul, tusuk konde, kebaya, juga kain selendang batik. Tak peduli tatapan sinis menghujaninya dengan bangga ia akan membusungkan dada.

     "Saya adalah Rr. Halimah Kamil. Bangsawan, berdarah biru. Keturunan generasi kedelapan dari Kasultanan Surakarta."

    Arum sendiri masih setia dalam bungkamnya. Tangannya bergeletar mengusap sisa-sisa tangis yang meleleh di pipi. Ia sudah tak tahan lagi. Kursi yang ia duduki semakin membola api. Pelan tapi pasti ia sedikit mengisutkan kakinya dan menyusun seribu langkah pelarian namun belum sampai tubuhnya tegak sempurna sepasang tangan menarik lengannya keras dengan mata membelalak terciprati panasnya api amarah.

    "Meneng kowe!. Manut wae opo omonge ibuk." bisiknya dengan jejeran gigi bergemulutukan.
Kally Kate membetulkan sejenak tatanan rambutnya. Secarik kertas hasil tes amniosintesis seminggu lalu disodorkan. Bibirnya mengulum senyum tipis saat bola mata si nyonya besar hendak meloncat keluar dengan ekspresi wajah merah padam bak roti dalam terali panggang.
Sindroma turner.
Sindrom XO atau monosomi X-suatu kelainan genetik pada wanita karena kehilangan satu kromosom. Wanita normal memiliki kromosom seks XX dengan jumlah total kromosom sebanyak 46, namun pada penderita sindrom Turner hany memiliki kromosom seks XO dan total kromosom 45. Terjadi karena satu kromosom hilang/nondisjunction saat atau selama gametogenesis (pembentukan gamet) ataupun pada tahap pembelahan zigot.
Anak cacat, tubuh pendek, wajah bayi, leher gondok, mandul. Sejuta bayangan bergumul tarik-menarik menyesaki otak si nyonya besar.

     "It goes without wasting a lot of time Doc. Just kill the baby. Embrassing. Family disgrace." (Tak usah membuang banyak waktu Dok. Bunuh saja bayi itu. Memalukan. Aib keluarga).

     Rebecca alias Kally Kate generasi kedua menepuk tangannya. Sekejap kemudian muncul sepasang sepasang perawat pria-wanita abal-abal dari ruangan berbeda lengkap dengan masker dan sarung tangan lateks. Sebuah brankar dorong beserta obat-obatan kimia pencabut nyawa itu.

     Methotrexate, nama senyawa mematikan itu. Bekerja menekan pertumbuhan pesat trophoblastoid (selaput yang menyelubungi embrio yang juga merupakan cikal bakal plasenta). MTX menghancurkan integrasi dari lingkungan yang menopang, melindungi, dan menyuburkan pertumbuhan janin.
Arum memekik dan meronta. Sayang jalanan Orchards terlalu lengang melenggang. Si perawat pria bertubuh kekar keburu meringkus tubuh Arum. Wanita hamil itu merasakan satu retakan pada tulang punggungnya saat tubuhnya dibanting dan direbahkan dengan sangat kasar. Belum lagi tinjuan-tinjuan kecil yang berjejalan pada permukaan perutnya. Sementara ucapan minta tolongnya hanya dibalas dengan bibir melengos dan sapuan kipas tangan di wajah.
Arum tahu bukan hanya dirinya saja yang memecah tangis kali ini. Seorang mungil yang meringkuk dan berpegang pada tali plasenta di dalam rahimnya pastilah tengah menangis batu. Mati-matian si mungil itu berusaha mengisutkan tubuhnya-mengelak dan menghindar. Jerit ketakutan juga nyanyian pilu menggema jelas. Merongrong tanpa hati pada sepasang gendang telinganya. Si mungil memekik keras. Matanya yang bulat membola kepedihan. Ia tak punya cukup waktu juga tak punya cukup daya. Tempat itu terlalu sempit baginya. Jerit kepiluan akhirnya pecah membelah. Ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya terlalu mungil untuk menyingkirkan jarum suntik itu dan melemparnya keluar. Kaki kecilnya dan jari-jari yang belum sempurna tak cukup punya kuasa untuk menginjak dan melumatkan si benda berkilat. Arum memekik. Ia merasakan kenyerian luar biasa pada perutnya. Refleks. Satu tendangan melayang pada kemaluan si perawat pria. Kontan si kekar oleng dengan setengah cairan obat yang belum sempat disuntikkan. Terseok dan tertatih Arum mengayun langkah. Sementara kedua tangannya memegangi perut yang serasa meletus. Si nyonya besar tak terima. Intruksi diberikan. Kally Kate bergegas meringkus tubuh Arum seraya menariknya kembali ke atas brankar. Beribu do'a terkulum dalam batin. Pandangan Arum teralihkan sejenak. Jemari tangannya berusaha meraih sebuah cairan berwarna kekuningan di atas meja mahasiswi kedokteran yang tak berhati itu. Entah itu apa tapi sepertinya cukup membantu. Si pirang gelagapan usai cairan kekuningan itu menciprati wajahnya. Buru-buru ia menghampiri wastafel. Menyalakan krannya. Tapi sepertinya sia-sia saja. Rasa panas masih menggodog dan menguliti bringas wajahnya. Ia mengobrak-ngabrik laci. Mencari semacam obat tetes dan menggunting cekatan beberapa sentimeter kain perban. Suasana gaduh meriuh. Arum tak punya banyak waktu. Satu detik saja amatlah berharga saat ini. Kenyerian kian menghunjam perut besarnya. Disusul darah merah kental yang meluncur deras dari selangkangannya. Satu sodokan keras mendarat pada tubuh si ibu mertua. Si nyonya besar masih belum menyerah tapi sepertinya rok batik kawung yang membungkus kaki jenjangnya cukup ampuh untuk menghalau langkah kakinya. Teriakan dan umpatan yang keluar dari bibirnya akhirnya hanya terbalas sapaan angin dan derai hujan yang kian bergemericik. Pelarian wanita dengan jilbab hijau muda itu baru berakhir ketika sebuah mobil kap terbuka dengan beberapa ekor domba sebagai penumpangnya menemukannya hampir tersungkur di pinggir jalan.

Akulah Sang Janin (ASJ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang