Sesal

21 3 0
                                    

     Payung hitam terkembang pada angin prahara yang tak sengaja datang bertandang.

     Tuhan, mengapa begini?

     Wanita berkelopak lebat itu memandang hambar pada sekeliling. Sisa-sisa percikan api amarah masih tergurat jelas pada garis wajahnya.

     Apa yang salah dengan dirinya?

     Wanita berkulit putih bersih itu menghela napas dalam. Semua orang tahu bahwa dirinya nyaris tanpa cela. Tapi kenapa semua pujian dan sorak kebanggaan yang menggema dari mulut ke mulut itu justru tak berpengaruh pada lelaki di hadapannya ini?

     Mobil mewah, penghasilan berlimpah, kebutuhan hidup yang jauh dari kata cukup. Dan sekarang ia hanya meminta satu permintaan saja untuk mengubah kehidupan keluarganya jauh lebih baik dari sebelumnya.

     Lalu apa yang salah?

     Dan lelaki di hadapannya masih saja membatu. Menatap sekilas pada binar matanya pun sama sekali tidak. Fokus matanya justru tertuju pada tumpukan snack yang menggunung di lantai. Satu persatu ia masukkan dan menatanya rapi pada tas obrok yang terparkir di teras rumah. Sementara si wanita berparas ayu mengernyitkan kening. Membludak sudah tungku emosi yang mengendap di dalam batinnya.

    "Mas?" suaranya meninggi. "Apa susahnya memenuhi permintaanku lagipula semua ini demi kebaikan keluarga kita, demi masa depan Nayla."

     "Aku bilang tidak ya tidak." si lelaki masih bersikeras.

     Keterlaluan.

     Dia sudah mengorbankan segalanya. Waktu, tenaga, kesenangan. Dan karir menjulang yang berhasil ia raih saat ini dengan perjuangan keras, untuk siapa lagi kalau bukan untuk si lelaki? Lalu apa sekarang balasannya? Nihil. Lelaki itu justru menampar pedih perasaannya. Puing-puing amarah yang berserakan akhirnya membuncah. Meledak sampai langit-langit rumah turut bergetar.

    "Seharusnya kamu itu sadar diri Mas! Apa yang kita miliki sekarang semuanya adalah hasil dari jerih payahku Mas. Dan kamu? Kamu cuma seorang sales!"

     Kalimat terakhir itu akhirnya menyembul ke permukaan juga. Menukik dan menyambar tepat pada ulu hati lelaki bertubuh jakung itu. Seperti baru tersiram satu jerigen bensin wajahnya memerah padam seketika. Mengumpul bara-bara api emosi pada kepalan tangannya. Sementara sesosok kecil mengintip ketakutan dari balik bilik kamar.

     "Jadi seorang sales itu lebih terhormat daripada berpenghasilan melimpah tetapi memperlakukan suami seperti budak." tegas si lelaki dengan nada tujuh oktaf.

     "Buka Mata Mas! Realita yang berbicara Mas." sang stylist fashion tak mau kalah.

     "Hanaaa!"

    Nyaris saja desingan tamparan melayang sebelum akhirnya perhatian mereka berdua tersita pada suara isak yang melengking.
Nayla.

     Buru-buru keduanya menghambur pada putri semata wayangnya itu. Willy mengambil sikap cepat dengan menggendong sang putri. Tak mau kalah, Hana menarik keras tubuh Nayla sampai-sampai tangis bocah lima tahun itu kian melengking.

     "Nay, ikut Mami!" Hana menyentak.

     "Cukup Hana! Mami? Kamu sama sekali tidak pantas." sepasang bola mata itu menghunus tajam pertahanan sang istri.

     Beberapa detik kemudian terdengar suara motor berderu kencang. Asap knalpot membumbung tinggi. Dan keduanya semakin jauh dari pandangan. Celoteh dan sumpah serapahnya tak lagi didengar.

     Jakarta.

    Tidak. Tidak semudah itu.
Rumah peninggalan almarhum Bapak dan Ibunya terlalu menyimpan banyak kenangan. Tak semudah itu untuk pergi. Meski rumah yang dulunya hanya berujud tumpukan batu bata telah disulap sang istri bak rumah pejabat. Setuatu di hatinya masih jelas mengganjal.

Akulah Sang Janin (ASJ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang