Sadar

12 2 0
                                    

     "Sepucuk sesal selalu mengajak bercanda di waktu yang tidak tepat"

Ruang ICU, 15 Desember

      Dua  pekan.

     Ya, dua pekan sudah tubuh lemah itu tergolek. Dan pertarungan dalam dirinya masih saja terjadi.
Mati. Empat kata itu selalu mengajaknya tertawa.
Tapi Tuhan selalu tak membiarkannya. Jika kehidupan hanya memberikan luka, dan saat kematian terasa sebagai sebuah cahaya. Tuhan justru menutup lorong cahaya itu.

     Apa mau-Mu Tuhan? Aku sungguh tak mengerti jalan fikiranMu?

     Grafik di layar monitor beserta suara khasnya "bip-bip" masih menjadi teman setia bersamaan dengan sebuah sentuhan halus yang mendarat pada punggung tangan

     Willy.

     Willy menggeliat, segera ia mengucek-matamya.

     Mimpi... Benarkah?

     Tidak, ini realita.
Sepasang mata mencoba membuka kelopaknya yang memberat.

     "Zahra, Alhamdulillah Ya Allah. Keajaiban."

     Binar di mata Willy mengudara. Segera ia bangkit berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk memanggil dokter. Namun, sebelum sepasang kakinya melangkah sempurna. Sebuah suara lemah keburu mencegahnya.

     "Wil..ly, tung..gu."

     Lelaki bertubuh jakun itu kembali terduduk. Ia rengkuh jemari Zahra dalam genggaman. Rengkuhan yang tak akan pernah ia lepaskan lagi meski badai mengguncang sekalipun.
Tak akan. Ia sudah berjanji.

     "Pulang..lah."

     Suara itu mengalun sendu disertai sebulir bening yang terjatuh tanpa bisa dibendung.

     "Tidak Zahra, aku tidak akan pernah pergi meninggalkanmu. Maafkan aku, kamu seperti ini karena aku. Aku penyebabnya. Maafkan aku."

     Tangis Willy pecah. Ia menciumi punggung tangan wanitanya dengan tersedu. Ketegarannya selama ini goyah. Tunduk dalam pandangan kosong sang wanita.

     Keajaiban tak selamanya ada di negeri dongeng. Dua pekan sudah ia tak henti-hentinya menggelar sajadah memilin do'a pada Yang Kuasa supaya wanitanya kembali membuka mata. Bacaan ayat-ayat Alqur'an pun setiap hari selalu mengalun memenuhi ruang ICU tempat Zahra dirawat.
Ia berhasil merayu Tuhan.
Dan sesudah rayuannya berhasil, seseorang yang diperjuangkannya menyuruhnya untul pergi. Tidak. Ia tidak akan pernah mau.

     "Willy, kenapa aku tidak mati?"

     Terbata, kata itu meluncur dari bibir Zahra.

     "Zahra, Kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Tuhan masih menyanyangimu. Kamu masih diberi kesempatan untuk hidup. Kamu harus bersyukur karenanya."

     "Tak ada gunanya aku hidup.." Zahra membantah.

     "Zahra, apa kamu lupa dengan Dimas dan Syifa. Mereka butuh kamu. Kamu bisa membayangkan bagaimana kehidupan mereka tanpa kamu. Mereka sudah kehilangan ayahnya. Apa kamu mau mereka juga kehilangan ibunya."

     "Termasuk aku juga membutuhkanmu Zahra." Ragu kalimat terakhir itu meluncur penuh pengharapan dari bibirnya.

     Anak?

     Dalam perih yang mencabik-cabik, Zahra biss melihat sosok Dimas yang bermanja. Juga Syifa yang berlari menuju ke pelukannya.
Ragu.  Dengan jari bergeletar Zahra merayapi  bukitan di perutnya.

     Anak?

     Iya, dia masih punya sejuta alasan untuk bertahan. Bagaimana tumbuh kembang anak-anaknya tanpa sosok ibu yang mengasihi, menyayangi, juga melindungi. Termasuk janin yang ada dalam kandungannya.

Akulah Sang Janin (ASJ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang