Realitas

19 4 0
                                    

     “Jika kau tak bisa mengubah dunia, jangan biarkan dunia mengubahmu menjadi makhluk tanpa daya”

     Minggu, awal desember

     Angin segar menyapu lembut wajah kota Sidoarjo. Minggu ceria, seperti biasa pagi-pagi sekali usai memandikan kedua buah hatinya Zahra segera bergegas menjinjing tas belanjaan. Bahan-bahan baku gorengan juga aneka tepung dan segala macamnya sudah memasuki tahapan kritis dan harus segera diselamatkan meskipun harus menutupnya dengan uang pinjaman dari tetangga sekalipun. Satu-satunya jalan yang tersisa saat ini untuk mencari keping-keping rupiah, tentu selain menggarap sepetak sawah peninggalan almarhum kakek-nenek. Apalagi, impiannya berkarir di dunia literasi selalu berujung pada kegagalan dan kegagalan.

     Bekerja di pabrik?

     Mungkin, tapi lihat tubuh gembung ini! Bukitan perut yang kian membesar ini kian menyiksa. Jangankan bekerja, berjalan saja tertatih dengan napas tersengal. Belum lagi nasib kedua manusia mungil itu, pada siapa mereka akan mengekor saat sang nenek berkeliling kampung menjajakan gorengan.
Entah kebetulan belaka ataupun apa, yang jelas wanita berkelopak mata besar itu telah berpikir; takdir telah merenggut segalanya, takdir tak pernah memberikannya ruang untuk mengekspresikan diri, dan takdir telah mengungkungnya dalam jeruji kemalangan yang tak berujung.
Hari ini pun sama. Satu ketidak-sengajaan anak-anak yang ia anggap sebagai bentuk kemalangan serupa; dimas secara tidak sengaja menumpahkan gelas susu ke baju renda putih yang ia pakai. Sialnya lagi, baru satu langkah menginjakkan kaki ke jalan raya tiba-tiba saja gerimis mengguyur. Plus semprotan air lumpur dari motor yang tiba-tiba menyelonong lewat dengan kecepatan tinggi.

    Tuhan memang tidak adil.
Sepertinya Dia benar-benar mengutukku.

     “Seharusnya laki-laki bajingan itu yang mendapatkan kesialan demi kesialan, kalau malapetaka sekalian dan bukan aku.” ceracaunya mengibas-ngibaskan sisa lumpur pada ujung bajunya sambil sesegera masuk ke rumah.

    Tanpa ia sadari dua pasang mata teduh tengah mengawasinya dan mendengar jelas keluh kesah yang keluar dari bibirnya barusan.
Setengah panik, Zahra menundukkan wajahnya. Biar bagaimanapun ia harus tetap menjaga perasaan anak-anak.

    Perpisahan boleh saja terjadi tetapi anak-anak harus tetap mempunyai kenangan indah bersama kedua orangtuanya.

    Jangan pupuk mereka dengan dendam, amarah, serta kebencian yang kita bawa!, karena biar bagaimanapun mereka harus tetap tumbuh dan berkembang dengan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya.

    Seberapapun pahitnya kenyataan yang menimpa, mereka lebih banyak punya hak untuk bahagia.

    Komitmen serta kata-kata bijak yang belakangan ia bangun bersama teman dari masa lalu; sosok berwajah kukuh yang diam-diam menempati ruang khusus dalam rangkaian panjang do’a-do’anya setelah sholat.

    Meski sebelumnya telah menganggap semua petuah, kata-kata bijak, kata-kata motivasi, dan segala macam tetek-bengeknya tak lebih dari sekadar omong kosong belaka. Persetan dengan perasaan. Justru anak-anak wajib tahu dan harus mengerti wajah asli sang bapak yang telah membatiknya. Toh, dia juga tak salah bicara. Apa salahnya jika ia menyamakan lelaki yang harusnya dipanggil “ayah” itu sebagai penjahat?

     Dia tak berbicara dusta. Realitas yang berbicara.

    Kalau sayang dan peduli dengan anak-anak tak mungkin meninggalkan dan menelantarkan bukan?

    Ternyata kebaikan yang ditunjukkannya selama ini tak lebih dari sekadar topeng. Pengecut yang pada akhirnya menghisap manis dan sembarang membuang sepahnya di tong sampah.

Akulah Sang Janin (ASJ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang