Kalau boleh jujur...
Aku sangat menyukai senyum ibu.
Walaupun dengan kondisi seperti ini, aku tak berbeda dari anak-anak pada umumnya.
Anak-anak yang sangat menyukai senyum ibunya, merasa tenang saat melihat senyum ibunya, hal itu juga kurasakan.
Jujur saja aku merasa senang melihat ibu tersenyum. Rasanya seperti semua beban diangkat dari kedua pundakku, aku bisa melakukan apapun.
Awalnya aku menuruti semua apa yang ia perintahkan hanya karena aku ingin membuatnya tersenyum bangga kepadaku. Aku hanya ingin melihat senyum lembut yang hangat itu.
Namun seiring berjalannya waktu, ia selalu saja menampakkan wajah tak puas setiap kali aku melakukan sesuatu. Katanya ini belum cukup. Belum cukup.
Tak jarang ia memarahiku hanya karena sedikit kelalaian dalam tugasku.
Bukannya aku membencinya atau menyalahkannya atas semua itu... Aku tahu kalau itu adalah kesalahanku sendiri. Kelalaianku sendiri. Namun... ayolah...
Aku hanya ingin dihargai.
Aku tahu, menyedihkan sekali ketika aku mengerjakan semua kewajiban-kewajibanku hanya untuk sekadar penghargaan. Aku tahu aku seharusnya tidak melakukannya dengan niat seperti itu. Tapi tetap saja, kan?
Maksudku, siapa yang tidak mau dipuji--atau setidaknya dihargai ketika melakukan sesuatu yang baik?
Aku menghela nafas. Hari ini aku kembali berjalan sendirian, seperti biasanya.
Ah, langit senja memang selalu indah.
Aku memang sangat menyukai sesuatu yang seperti ini. Langit yang mulai memerah dihiasi dengan semburat semburat jingga, bahkan tak jarang pula kau bisa melihat gradasi warna ungu dan merah muda yang turut membaur dengan sangat indah, dan awan-awan halus yang memancarkan cahaya jingga itu... Ah, sangat melankolis.
Melihat pemandangan seperti ini setelah melewati hari yang melelahkan memang menyenangkan.
Tanpa kusadari segaris senyuman terukir diwajahku.
Ah, aku ingin menikmati ini, walau hanya sebentar.
Aku memasang earphone-ku, mengeluarkan ponselku dan menekan aplikasi musik untuk memutar sebuah lagu.
Melanjutkan langkahku, aku berjalan dengan pandangan yang mengarah ke permukaan aspal. Alunan lagu yang kuputar terbayang-bayang di benakku.
Baru sekitar puluhan langkah kutempuh, seseorang tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang.
"Yahoo, Soraru-san!" Di sana, sosok pemuda bintang bersurai brunette menyapaku dengan senyuman ramahnya.
Aku pun menoleh sembari melepaskan earphone-ku. Lalu ku balas lesu sapaan pemuda di hadapanku. "Hn.... Yahoo, Amatsuki..."
"Kau kenapa, Soraru-san? Kau terlihat lesu. Apa kau bergadang?" Ia bertanya sembari mengarahkan telunjuknya ke mata kanan bawahnya.
"Ah...." Bisa-bisanya aku melupakan kondisi tubuhku sendiri. Bahkan obat yang diberikan Mafu juga belum sempat kuminum.
Ayolah, apa yang harus kubilang padanya...
Memang dari awal aku tidak berniat untuk meminum, sih. Tapi bakal sulit juga bila sampai membuat Mafu semakin khawatir. Aku hanya tidak mau merepotkannya.
"Soraru-san?" Suara Amatsuki tiba-tiba saja memanggilku. Dengan segera aku tersadar dari lamunanku lalu menjawab panggilannya, "H-hai. Nani??"
Pemuda brunette itu hanya memandangku heran, "Aku bertanya loh, kenapa kau malah melamun?"
KAMU SEDANG MEMBACA
はい、大丈夫 だった。(Yes, I'm fine.)--A Soraru Fanfiction
Fanfiction"Kumohon, aku ingin menjalani hidupku tanpa ada keterpaksaan." Kalian tidak mengerti... Aku punya masalah... Aku tak tahu harus bagaimana... Aku ingin mengakhiri ini... Aah, semua ini membuatku gila. "Hey, dengarkan aku..." "Ada apa?" ... "Tidak apa...